Kasus gizi buruk yang dialami balita di wilayah Kabupaten Lumajang dinilai masih tinggi. Hal ini yang menjadi sorotan Ny. Tutuk Fajriyah, selaku Wakil Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Lumajang.
“Kami melakukan survey untuk mengetahui persis, apa penyebab masih banyaknya kasus gizi buruk selama ini. Ternyata penyebabnya adalah karena masih banyaknya pernikahan dini yang terjadi di berbagai Desa. Terutama, yang dilakukan warga etnis Madura di pedesaan. Ini perlu saya sampaikan, karena saya sendiri memang keturunan etnis Madura,” katanya.
Hal itu, masih menurut Ny. Tutuk Fajriyah, terjadi karena di kalangan etnis Madura di wilayah pedesaan masih banyak yang memaksa putra dan putrinya untuk menikah dini.
“Dari survey itu, ditemukan juga pernikahan dini yang dilakukan remaja yang berusia 11 tahun. Mereka-mereka ini kan sebenarnya masih usia sekolah di bangku SD. Tapi itu benar-benar terjadi di Lumajang ini,” paparnya.
Kondisi itu, lanjutnya, juga terjadi karena dipicu persoalan adat di lingkungan masyarakat setempat. Dimana, di kalangan etnis Madura Lumajang ini kebanyakan merasa malu dan harga dirinya terinjak, jika putra dan putrinya terlambat menikah.
“Padahal, kalau pasangan menikah di usia 20 tahun atau 25 tahunan saat ini, dinilai lumrah dan memang sudah waktunya. Tapi, di kalangan etnis Madura wilayah pedesaan di Kabupaten Lumajang ini, jangankan sampai usia 20 tahun atau 25 tahunan, karena putra dan putrinya masih berusia belasan saja sudah buru-buru dinikahkan. Itu faktanya,” jelasnya.
Dampak yang terjadi kemudian adalah, pasangan yang menikah usia dini ini membawa buah keturunan yang rentan menderita gizi buruk. Pasalnya, diungkapkan Ny. Tutuk Fajriyah, pasangan yang menikah di usia belasan tahun belum siap dari sisi kesehatan biologisnya saat membuahi.
“Sebab, usia belasan belum siap dan belum saatnya membuahi kehamilan. Masak usia 11 tahun sudah hamil, padahal usia sepantarannya masih bermain. Yang saya temukan lebih ironis lagi, ada bayi dari pasangan yang menikah usia dini kemudian menderita penyakit radang otak. Malah orangtuanya karena masih terlalu muda, terlihat tenang-tenang saja. Hingga akhirnya Puskesmas yang terpaksa turun tangan untuk membawa berobat, meski ujungnya ditolak karena dianggap repot,” urainya.
Melalui survey yang dilakukan TP PKK, kasus pernikahan dini ini banyak ditemukan di berbagai wilayah pedesaan yang menyebar. Diantaranya di wilayah Kecamatan Ranuyoso, Gucialit, Klakah dan Randuagung.
“Di 4 Kecamatan ini yang masih banyak ditemukan pernikahan dini karena persoalan anggapan adat kalangan etnis Madura ini,” pungkasnya. (her/dop/ipg)