Ada yang menarik disampaikan Jusuf Kalla Wakil Presiden RI terkait dengan perubahan kurikulum di Indonesia. Jusuf Kalla berpendapat bahwa sistem pendidikan di Indonesia yang sering berubah (kurikulum pendidikan, red) relatif sangat tidak efisien dan akan menghilangkan prinsip dasar pendidikan.
“Tiap tahun mengubah sistem, tidak efisien, karena tetap saja ada hal-hal prinsip yang mendasar. Jangan asal berubah, apalagi berubah nama, berubah mutu pendidikannya juga,” kata Kalla dalam sambutannya dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan Nasional 2015 di Balai Diklat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Depok, Jawa Barat, akhir April lalu.
Perubahan sistem yang terjadi tidak pernah menghapuskan tiga unsur pokok, yaitu membaca, mendengarkan, dan diskusi. Perubahan sistem hanya melebihi satu unsur dan mengurangi unsur lainnya. Mengukur pendidikan tidak bisa langsung dinilai. Apa yang diajarkan pada hari ini, kata dia, hasilnya baru akan terlihat beberapa tahun ke depan.
Sikap kritis yang ditunjukkan Jusuf Kalla terhadap ketidakmapanan penerapan kurikulum pendidikan Indonesia berlatar belakang perhatiannya pada kurikulum pendidikan di Tanah Air. Pasalnya, tiap berganti kabinet maka biasanya diikuti dengan perubahan terhadap kebijakan pendidikan di Tanah Air yang pada ujung-ujungnya berdampak pada siswa, guru, dan sekolah.
Riwayat perubahan kurikulum di Indonesia sudah setua negeri ini. Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengubah kurikulum. Sebelum akhirnya sampai pada Kurikulum 2013, yakni Rentjana Pelajaran Terurai 1957, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004 alias Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2006 yang dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan kini Kurikulum 2013.
Berarti selama hampir 60 tahun kemerdekaan, pendidikan di Indonesia telah mengalami 10 jenis kurikulum dengan tingkat perubahan atau penyempurnaan yang berbeda-beda. Filosofi Kurikulum 2013 atau yang kini diperkenalkan, sebagaimana terungkap dalam Naskah Akademik Kurikulum 2013, yakni merupakan pengembangan dari Kurikulum 2006 atau KTSP.
Salah satu alasan yang melatarbelakangi perubahan dari Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013, menurut Mohammad Nuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan–yang mengakhir masa jabatannya pada bulan Oktober 2014 itu–ada banyak kekurangan pada kurikulum sebelumnya (Kurikulum 2006), lansir Antara.
Seumur Jagung
Di akhir masa jabatannya, Mohammad Nuh mantan Mendikbud berkeinginan menteri penggantinya akan melanjutkan Kurikulum 2013. Namun, Mendikbud terpilih pada Kabinet Kerja, Anies Baswedan memiliki pendapat berbeda terkait dengan penerapan Kurikulum 2013 yang baru “seumur jagung” tersebut.
Pada bulan Desember 2014, Anies Baswedan memutuskan untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menetapkan satu semester, yaitu sejak tahun pelajaran 2014/2015 dan kembali menggunakan Kurikulum 2006 mulai semester genap tahun pelajaran 2014/2015. Pasalnya, berbagai konsep di Kurikulum 2013 sebenarnya telah diakomodasi dalam Kurikulum 2006.
Terkait dengan keputusannya menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013, Anies Baswedan menyatakan, “Kami tidak ingin gonta-ganti kurikulum, tetapi menyempurnakan yang ada biar bisa dijalankan dengan baik. Tidak ada niat untuk menjadikan salah satu elemen pendidikan menjadi percobaan, apalagi siswa yang menjadi tiang utama masa depan bangsa.”
Penyempurnaan tersebut, kata dia, dilakukan untuk melihat sejauh mana kesiapan guru-guru sebagai eksekutor pelaksanaan kurikulum tersebut. “Harus ditinjau kesiapan gurunya bagaimana? Jangan memaksakan maunya Jakarta, tetapi lihat di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Sekolah yang telah menggunakan Kurikulum 2013 di atas tiga semester, sekolah tersebut akan tetap menggunakannya dan menjadi percontohan bagi sekolah-sekolah lain. Sekolah itu tidak akan kembali ke Kurikulum 2006. Namun, kata Anies, jika sekolah merasa tidak siap dan merasa terbebani, ada kelonggaran sekolah tersebut tidak meneruskan kurikulum baru.
“Hanya sekolah-sekolah itulah yang diwajibkan menjalankan Kurikulum 2013 sebagai tempat untuk memperbaiki dan mengembangkan kurikulum tersebut. Bila ada yang merasa tidak siap, silakan ajukan pengecualian, tetapi secara umum sudah siap,” kata dia.
Kurikulum 2013 secara bertahap dan terbatas telah diterapkan pada tahun pelajaran 2013/2014. Penerapannya dilakukan di 6.221 sekolah di 295 kabupaten/kota yang terdiri atas 2.598 sekolah dasar, 1.437 sekolah menengah pertama, 1.165 sekolah menengah atas, dan 1.021 sekolah menengah kejuruan.
Dengan adanya keputusan Anies Baswedan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menghentikan Kurikulum 2013, tiap sekolah akan kembali ke Kurikulum 2006.
Tidak Ada Perubahan
Sulistyo Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengaku pesimistis bakal ada perubahan mendasar di dunia pendidikan jika tidak segera memperbaiki orientasi pendidikan.
“Persatuan Guru Republik Indonesia meminta komitmen pemerintah memajukan pendidikan betul-betul dilaksanakan secara nyata dan terwujud. Salah satunya untuk memperhatikan sarana dan prasarana sekolah yang ada,” kata Sulistiyo.
Saat ini, kata dia, masih relatif banyak ruang kelas yang rusak, baik rusak berat, ringan, maupun sedang. Pembiayaan pendidikan juga makin takjelas. Biaya operasional sekolah (BOS) untuk kepentingan guru hanya 15 persen, tidak ada bagian untuk diberikan kepada guru honorer. “Masih lebih baik dahulu. Dahulu 20 persen BOS masih bisa diberikan kepada guru sehingga ada dana untuk guru honorer,” kata Sulistiyo.
Sekarang, kata dia, tidak ada bagian untuk guru honorer. Ini artinya terjadi penurunan kesejahteraan bagi guru honorer.
Sementara itu, Mohammad Abduhzen pengamat pendidikan yang juga Direktur Eksekutif Institute for Education Reform mengatakan bahwa strategi implementasi kurikulum atau asumsi yang melatari penguatan kurikulum harus mempertimbangkan situasi kebangsaan dan melihat visi ke depan.
Ia menyebutkan sejumlah persoalan normatif, yaitu Pembukaan UUD 1945, Pancasila, dan tujuan pendidikan nasional, harus dibuat tata letaknya masing-masing supaya tidak berat sebelah.
Menurut dia, idealnya kurikulum pendidikan tidak perlu mengatur secara luas, semua pelajaran tidak perlu dicantumkan. Kurikulum cukup menetapkan lima mata pelajaran. Selebihnya, hal itu diserahkan pada daerah atau sekolah untuk merumuskannya sendiri.
“Kurikulum merangkum maksimal lima mata pelajaran saja, sisanya serahkan pada pemerintah daerah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sudah mengakomodasi ini. Pada Kurikulum 2006, KTSP itu namanya juga satuan pendidikan. Akan tetapi, otoritas sekolah hanya diberi waktu 2 jam untuk muatan lokal,” kata Abduhzen.
Fokus Guru
Anies Baswedan Mendikbud berpendapat bahwa persoalan pendidikan di Tanah Air bukan terletak pada model kurikulum apa yang diterapkan, melainkan bertumpu pada peran guru.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan membuat sejumlah program kegiatan yang fokus pada penguatan profesionalitas dan kompetensi guru karena disadari guru merupakan kunci dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
“Selama ini kita lupa membahas pelaku utamanya yaitu guru. Karena kunci dari upaya peningkatan mutu pendidikan ada pada guru, bukan kurikulum atau gedung sekolah,” kata Mendikbud Anies Baswedan saat menutup kegiatan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2015.
Anies menegaskan bahwa kata kunci dari pendidikan adalah penguatan aktor pendidikan. Aktor pendidikan yang dimaksud adalah guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, dan siswa. “Kami akan konsentrasi pada pelakunya,” ujarnya.
Para aktor pendidikan itu merupakan komponen paling strategis dalam upaya mencerdaskan bangsa. Karena lewat tangan guru, proses belajar mengajar bisa dibuat menyenangkan atau menakutkan bagi siswa. “Sekolah harus menjadi tempat menyenangkan bagi siswa sehingga tercipta kreativitas dan inovasi. Hal itu bisa terwujud jika ada keterlibatan semua aktor pendidikan,” katanya.
Guru memainkan peran dalam menciptakan pembelajaran yang bermakna dan menantang. Pembelajaran bermakna bisa dilakukan dengan mengajak siswa ke lingkungan sekitar sekolah, misalnya sawah dan terjun langsung ke sawah.
“Pembelajaran menantang adalah pembelajaran dengan ragam tantangan. Setiap siswa diberikan pilihan tantangan yang disesuaikan dengan tingkatan,” ujarnya.
Anies mengutip pernyataan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara yang menyebut sekolah sebagai taman. Oleh karena itu, sekolah harus menjadi tempat menyenangkan dan membuat siswa rindu kembali ke sekolah.(ant/iss/ipg)