Kamis, 28 November 2024
Kesiapan UMKM Jawa Timur Menghadapi MEA

Belajar dari Banyuwangi

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Sejumlah pekerja merampungkan pembuatan kerajinan dari batok kelapa di Kejaya Handicraft, Sabtu (12/9/2015). Foto : Taufik suarasurabaya.net

Jemari Hindun, 45 tahun, tak henti merajut serat tapas pohon kelapa untuk gantungan parfum ruang. Hindun adalah satu dari 50 pekerja di Kejaya Handicraft, sebuah usaha kreatif yang didirikan di Dusun Kejoyo, Desa Tambong, Kecamatan Kabag, Banyuwangi.

Saat ditemui suarasurabaya.net, pada Sabtu (12/9/2015), ibu tiga anak ini mengaku harus segera menyelesaikan seribu tali serat tapas pesanan dari sebuah perusahaan asal Tangerang.

Di Kejaya Handicraft, Hindun tak hanya merangkai tali tapas gantungan parfum ruang. Usaha yang didirikan Khatibin, pemilik Kejaya Handicraft sejak tahun 1998 itu juga menghasilkan aneka kerajinan lain yang bersumber dari pohon kelapa.

“Tali tapas misalnya, tidak hanya untuk gantungan parfum, tapi juga untuk tali tas, sabuk, juga kalung,” kata Hindun. Tak hanya itu, aneka kerajinan dari batok kepala, lidi, bahkan akar pohon kelapa diproduksi di usaha rumahan ini.

Bekerja selama delapan jam perhari, Hindun awalnya hanya ibu rumah tangga biasa. Namun, bergabung dengan Kejaya sejak 10 tahun lalu, menjadikannya kini mampu menyekolahkan ketiga anaknya dengan pendidikan yang layak.

Awal dirintis, Kejaya Handicraf tak langsung fokus pada kerajinan pohon kelapa. Aneka barang bekas pakai hingga kerajinan dari pohon pisang sempat dibuat, namun semuanya tak laku di pasaran.

Hingga akhirnya pada tahun 2000, melalui seorang teman, Khatibin mendapatkan pesanan untuk mengirim bahan kerajinan berupa batok kelapa utuh dan lidi ke Yogyakarta. Sukses mengirim bahan kerajinan, membuat Kejaya mencoba untuk memproduksi sendiri aneka souvenir yang selama ini dibuat oleh pengrajin asal Yogyakarta.

Di awal produksi, souvenir karya Kejaya ternyata tak bisa bersaing dengan aneka kerajinan dari Yogyakarta. Hingga akhirnya Bali jadi tujuan pengiriman kerajinan souvenir tersebut.

Dari Bali inilah, Kejaya menemukan jalannya, bahkan tak hanya pengusaha asal Jakarta, beberapa pengusaha dari luar negeri juga mulai memesan dari perusahaan yang kini fokus pada pembuatan souvenir dari bahan alam original Banyuwangi ini.

Inovasi kreatif juga terus dipertahankan meski kadang harus melawan idialisme perusahaan. “Awalnya kami menjaga idialisme dan hanya menjual murni karya original kami. Tapi sulit laku sehingga kami harus mengikuti pasar,” kata Khatibin.

Apalagi, Kejaya hingga saat ini belum memiliki stand-stand resmi di luar Banyuwangi, sehingga mereka harus nebeng merk dengan pengrajin-pengrajin besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Tali tapas untuk gantungan parfum misalnya, tidak dilabel dengan brand “Kejaya Handicraft” melainkan menggunakan brand “Dorfree”, sebuah brand perusahaan yang berpusat di Tangerang.

Tak hanya tali tapas, BH (breast holder) atau penyangga payudara dari batok kelapa juga menggunakan brand dari sebuah perusahaan asal Hawaii karena pemesan bra tersebut berasal dari Hawaii dan Jamaica.

Setelah lebih dari 15 tahun berdiri, Kejaya Handicraft kini mulai mengembangkan sayap bisnisnya, sebuah homestay handicraft yang tak jauh dari lokasi pabrik juga didirikan. Homestay ini dirancang khusus untuk menerima tamu yang ingin belajar memulai bisnis kerajinan. Dilengkapi dengan penginapan sederhana, homestay ini juga memamerkan proses pembuatan karya di kerajinan tersebut.

Tak hanya homestay, sebuah toko berukuran 10×20 meter yang berada di tengah kota Banyuwangi juga didirikan khusus untuk memanjakan para pelancong yang menginginkan souvenir khas Banyuwangi. Ruko yang juga dilengkapi sebuah rumah makan masakan khas Banyuwangi ini juga menyediakan tak hanya souvenir bikinan Kejaya Handicraft, melainkan juga menampung aneka kerajinan dari beragam penjuru Banyuwangi.

Di dunia maya, Kejaya Handicraft juga telah memiliki sebuah website di http://kejayahandicraft.blogspot.co.id Meski masih sederhana, namun informasi yang disajikan sudah cukup lengkap sehingga mempermudah bagi para pemesan berselancar memilih hasil kerajinan dari perusahaan tersebut.

Berbagai pameran yang difasilitasi pemerintah juga diikuti untuk menggaet pembeli baru. Bahkan kerjasama dengan perusahaan asal Italia dan Inggris didapatkan Kejaya Handicraft berkat sebuah pameran yang mereka ikuti di Italia pada awal tahun 2000 silam.

Bertarung di MEA

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlangsung tahun depan bukanlah sebuah momok yang harus ditakuti Kejaya Handicraft. Pengalaman ekspor yang mereka jalani,menjadikan usaha yang bermula dari industri rumahan ini bahkan tak sabar bisa meluaskan pasar di kawasan negara ASEAN.

“Memang menjalin kerjasama bisnis dengan bangsa lain tidak selalu berjalan mulus,” ujar Khatibin. Bahkan, ketika awal melakukan ekspansi pasar Eropa, Kejaya sempat tertipu karena salah dalam mendesain ukuran.

“Saat itu mereka minta rompi ukuran S, L dan M, kami produksi ukuran standar Indonesia ternyata setelah kami kirim barangnya, yang ukuran S mereka tidak mau padahal barang sudah terlanjur dikirim dan mereka menolak untuk mengembalikan,” kata dia.

Pengalaman itulah, yang menjadikan suami dari Wiwik Sulastri ini semakin tangguh dalam berwirausaha. Kini pesanan-pun terus mengalir. Dari Jamaika misalnya, saban tahun pusat kerajinan dari Banyuwangi ini mengirimkan minimal dua kontainer BH dari batok kelapa.

Begitu juga dari Korea, Inggris dan Italia, mereka juga terus memesan aneka kerajinan berbahan pohon kepala ini. Sayangnya, Khatibin enggan merinci barang yang dikirim termasuk omset yang diterima perusahaan tiap bulannya.

Kini Kejaya Handicraft sangat siap dan malah menunggu realisasi MEA yang akan dimulai awal tahun 2016. Beberapa warga yang direkrut di perusahaan ini juga mulai dibekali dengan kursus bahasa asing sehingga jika mereka didatangi turis bisa memberi penjelasan sekaligus meyakinkan calon konsumennya akan kualitas produk dari perusahaan tersebut.

Alief Kartiono, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Banyuwangi mengatakan, Kejaya Handicraft, adalah salah satu contoh sukses bagaimana Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Banyuwangi telah siap menghadapi MEA.

Dari 296.706 jumlah UMKM di Banyuwangi, memang belum seluruhnya siap menghadapi MEA. Namun dilihat pertambahan jumlah yang mencapai 125 persen dibandingkan tahun 2011 yang hanya 131 ribu UMKM, Alief meyakini para pelaku UMKM tetap akan siap untuk bersaing di pasar ASEAN.

“Kami sudah siapkan lima pendekatan untuk mengembangkan UMKM,” kata dia. Lima aspek pendekatan itu diantaranya adalah peningkatan kelembagaan, sumber daya manusia (SDM), manajemen, fasilitasi permodalan atau pembiayaan, pemasaran, dan teknologi informasi.

Pada tahun 2015 Dinas Koperasi dan UMKM juga melakukan beberapa inovasi pengembangan diantaranya dengan program marketing online (MOL) untuk fasilitasi pelaku UMKM dalam mempromosikan produk; lantas report online (ROL) untuk fasilitasi percepatan pelaporan perkembangan pengelolaan keuangan koperasi; serta optimalisasi pelayanan klinik K-UMKM untuk pengembangan bisnis baik di dalam rumah maupun di luar rumah.

UMKM yang belum berbadan hukum juga didorong dan difasilitasi sehingga mereka tak lagi kesulitan mengakses permodalan dari perbankan. Peningkatan manajemen usaha juga digalakkan termasuk memberikan pelatihan akuntansi. Bagi UMKM yang telah maju, pelatihan impor dan ekspor juga diberikan sehingga mereka bisa siap untuk menyongsong era MEA.

Belajar dari Banyuwangi

Bagi Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi, apa yang telah dilakukan Dinas Koperasi dan UMKM adalah bagian dari upaya daerahnya mengangkat perekonomian masyarakat. Semangat entrepreneur juga terus didorong sehingga mampu memunculkan lebih banyak wirausahawan mandiri dari sektor UMKM.

“Kita cari potensi yang bisa digarap di desa itu apa, lantas kita beri pelatihan bagaimana membuatnya dan memasarkannya,” kata Bupati lulusan Harvard Kennedy School of Government ini.

Pada April 2015 misalnya, Pemerintah Banyuwangi mengadakan pelatihan internet marketing dengan peserta yang melebihi ekspektasi. Saat itu, dari target peserta 500 orang, ternyata membengkak menjadi 2000 orang.

Dengan pelatihan, masyarakat diharapkan mampu menggali potensi desanya sehingga memunculkan lebih banyak lagi UMKM di Banyuwangi. “Apalagi sejak tiga tahun lalu, kami sudah mencanangkan Banyuwangi sebagai daerah wisata. Banyak kegiatan wisata yang kami adakan dan masyarakat juga harus siap jadi entrepreneur,” ujarnya.

Sektor UMKM Banyuwangi harus dijadikan contoh bagi daerah lain di Jawa Timur. Apalagi sektor UMKM saat ini mampu menyumbang lebih dari 50 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur. Data yang dimiki Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Timur, dari sektor ini sedikitnya menyumbang Rp 600 triliun dari total PDRB Jawa Timur sebesar Rp 1.136 triliun.

“Selain migas, UMKM memang memiliki peran yang cukup besar di PDRB kita,” kata I Made Sukartha, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Jawa Timur.

Hingga saat ini, pelaku UMKM di Jawa Timur mencapai 6,8 juta dengan 92 persen atau 6,5 juta diantaranya adalah skala mikro, enam persen atau 261 ribu skala kecil dan dua persen atau 30 ribu skala menengah. Skala mikro yang dimaksud adalah jika aset yang dimiliki pelaku UMKM tidak lebih dari 50 juta (di luar tanah dan bangunan) dengan omset pertahun kurang dari Rp 300 juta.

Sedangkan skala kecil jika asetnya kurang dari Rp 500 juta dengan omset kurang dari Rp 1 miliar pertahun. Sedangkan untuk skala menengah jika aset tidak lebih dari Rp 2,5 miliar dan omset tidak lebih dari Rp 10 miliar. “Di atas itu masuk skala industri besar dan tidak dihitung UMKM,” ujarnya.

Tingginya suplay PDRB ini juga menunjukkan jika pelaku UMKM Jawa Timur sudah sangat siap untuk menghadapi MEA. Dia mencontohkan, produk baju muslim dari UMKM Jawa Timur saat ini merajai ekspor pakaian muslim tidak hanya di ASEAN, tapi hingga ke timur tengah. “Kami sudah berkeliling dan mengumpulkan pelaku UMKM, mereka malah tidak sabar untuk segera bermain di MEA,” ujar Made Sukartha.

Untuk menyiapkan diri menghadapi MEA, Dinas Koperasi dan UMKM saat ini juga telah mendirikan klinik UMKM yang akan membantu para pelaku industri. Selain aneka pelatihan mengenai ekspor, serta manajemen, klinik ini juga memberikan pendampingan termasuk akan membantu memasarkan produk pelaku UMKM.

Dinas Koperasi dan UMKM saat ini juga telah memberikan kewenangan bagi kantor Kecamatan untuk memberikan legalitas bagi berdirinya UMKM di daerah-daerah. “Dengan mendaftarkan diri ke Kecamatan, pelaku UMKM sudah bankable, artinya dengan legalitas dari Kecamatan, mereka tidak perlu mendirikan CV ataupun PT sudah bisa mengajukan permodalan ke Bank UMKM dan BRI,” ujarnya.

Bank UMKM dan BRI, saat ini memang telah menjalin MoU dan menyediakan kredit murah bagi para pelaku UMKM jika mereka telah mengantongi izin pendirian dari camat setempat.

90 persen usaha di ASEAN dari Sektor UMKM

Selain industri kreatif, salah satu sektor yang harus diperhatikan dan dikembangkan ternyata sektor UMKM. Apalagi dari data yang ada menunjukkan jika saat ini sektor UMKM di ASEAN telah mencapai lebih dari 90 persen dari total usaha di ASEAN.

Kontribusinya bagi penciptaan lapangan kerja juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, 85 persen lapangan kerja di ASEAN dari UMKM. UMKM juga memberikan kontribusi besar bagi perekonomian ASEAN. Sebanyak 30-53 persen PDB ASEAN dari sektor ini. Sayangnya, kontribusi UMKM bagi ekspor di ASEAN ternyata belum menggembirakan karena hanya 19-31 persen dari total ekspor ASEAN.

Kresnayana Yahya, Chairperson Enciety Business Consult menjelaskan, UMKM tak hanya menciptakan lapagan pekerjaan melainkan juga memberikan peningkatan pada PDB serta pertumbuhan ekonomi. “UMKM ini menciptakan lapangan kerja, serta memberikan kontribusi nyata pada pertumbuhan ekonomi,” kata dia.

Untuk meningkatkan sektor UMKM, Kresnayana yang juga pakar statistika dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) ini memberikan sedikit tips agar pemerintah segera membantu memperbanyak asosiasi khusus UMKM. Dengan wadah asosiasi, dengan sendirinya pelaku UMKM akan menentukan standarisasi produk. Dengan standarisasi yang telah terukur bagi produk yang mereka hasilkan, secara tidak langsung juga akan menambah nilai ekonomi bagi para pelaku UMKM sendiri.

Asosiasi setidaknya juga akan memperkuat nilai tawar UMKM di arena perekonomian makro. “Asosiasi ini secara sederhana bisa dibuat perkampung, misalnya di Surabaya ada kampung lontong, maka produk UMKM di kampung itu dengan sendirinya memiliki standar yang sama,” kata dia.

Usulan Kresnayana ini rupaya mendapatkan tanggapan positif dari Pemerintah Jawa Timur. Hadi Prasetyo, Asisten Perekonomian Pemerintah Jawa Timur mengatakan, selain membantu penciptaan asosiasi dan standarisasi produk, pemerintah saat ini juga mulai memikirkan untuk membangun klinik-klinik UMKM di beberapa negara ASEAN.

Bahkan, bersama investor asal Singapura, pemerintah Jawa Timur sepakat untuk membangun Jatim Mart, sebuah supermarket yang khusus menjual aneka kerajinan asal Jawa Timur. Untuk tahap awal, Jatim Mart akan didirikan di tiga negara sekaligus yaitu di Singapura, Vietnam dan Tianjin China.

Nantinya, produk UMKM yang akan dikirimkan adalah produk-produk yang telah memiki brand serta memiliki standarisasi produk yang baik. Pelaku usaha kecil nantinya akan didorong mendirikan sebuah asosiasi dan asosiasi inilah yang akan menentukan standar dan akan mengirimkan barang tersebut ke Jatim Mart.

Ide pembuatan Jatim Mart sendiri, terinspirasi dengan strategi China yang saat ini mulai membangun Dragon Mart yang tersebar di berbagai macam negara. Sama dengan Dragon Mart, Jatim Mart nantinya juga akan terintegrasi dengan hipermarket, cinema, foodcourt serta entertainment zone included.

Dengan berbagai upaya ini pelaku UMKM di Jawa Timur diharapkan lebih bergeliat yang ujung-ujungnya akan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. (fik)

Teks foto :
-Pekerja menyelesaikan pengecatan sebuah kerajinan di Kejaya Handicraft.
-Abdullah Azwar Anas, Bupati Banyuwangi.
-Kresnayana Yahya, Chairperson Enciety Business Consult

Foto-foto : Taufik suarasurabaya.net

Berita Terkait

Surabaya
Kamis, 28 November 2024
26o
Kurs