Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menawarkan hasil pengembangan teknologi pangan berupa beras analog sebagai pengganti beras-beras impor.
“BPPT mengembangkan beras tiruan atau beras analog, yang dibuat dari bahan baku lokal. Beras ini berasal dari jagung, ubi kayu, dan atau sagu sehingga dijamin aman bahkan mempunyai manfaat kesehatan seperti indeks glikemik rendah,” kata Listyani Wijayanti Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) di Jakarta, Selasa (26/5/2015) seperti dilansir Antara.
Teknik proses produksinya atau peralatan produksinya pun, menurut dia, telah dikembangkan oleh BPPT. Diseminasi teknologi juga telah dilakukan melalui pelaku usaha (UKM) di beberapa daerah.
“Yang paling penting, beras analog ini menggunakan bahan baku lokal, sehingga mengurangi ketergantungan akan pangan impor, termasuk impor beras,” katanya.
Diversifikasi pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang dilakukan BPPT melalui Kedeputian TAB dalam hal ketahanan pangan nasional selama ini memang menyoroti upaya penyediaan pangan pokok (beras) dari tahun ke tahun.
Listyani mengatakan bahwa ketersediaan lahan untuk produksi beras (padi) semakin tidak mampu memenuhi jumlah kebutuhan, bahkan lahan tersebut semakin kurang karena yang tadinya berfungsi untuk tanaman pangan, telah beralih fungsi menjadi pemukiman dan industri.
Sementara itu, ia mengatakan tingkat konsumsi beras Indonesia sangat tinggi, lebih dari 100 kilogram per kapita per tahun jauh lebih tinggi dari rata-rata konsumsi beras dunia yang hanya 60 kilogram per kapita per tahun. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat akan manfaat konsumsi pangan beragam perlu ditumbuhkan.
Hal ini, ujar dia, akan meningkatkan konsumsi dan juga produksi pangan berbahan lokal sehingga dapat mengurangi tingkat konsumsi beras dan juga pangan impor (gandum).
“Diversifikasi pangan kami lakukan melalui pengembangan teknologi pangan olahan berbahan baku lokal yakni jagung, ubi kayu, dan sagu. Bentuk produknya adalah mi, makaroni dan beras analog,” katanya.
Program lainnya dalam rangka ketahanan pangan adalah peningkatan produksi pangan sumber protein hewani yaitu melalui pengembangan ikan nila unggul yang dapat dibudidayakan di perairan payau (tambak).
Ini dilakukan guna memanfaatkan tambak-tambak idle dan diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.
“Pengembangan ikan nila ini juga diperluas dengan jenis ikan nila yang dapat dibudidayakan di laut (marine Tilapia) yang diharapkan akan dapat membantu mengatasi semakin menurunnya ketersediaan ikan laut seperti kakap,” ujar dia.
Selain itu, dalam rangka mendukung peningkatan produksi daging juga dikembangkan peternakan sapi yang terintegrasi dengan perkebunan dan industri kelapa sawit.
Kendala dalam diversifikasi pangan saat ini, menurut Listyani, produksi pangan olahan berbahan lokal masih terkendala harganya yang belum bisa murah seperti beras raskin karena skala produksinya masih kecil.
“Perlu dukungan pemegang kebijakan akan pengembangan pangan berbahan lokal, seperti memberikan kesempatan pangan berbahan lokal menggantikan raskin untuk daerah-daerah dengan potensi bahan pangan lokal. Atau pemberian subsidi bagi usaha pengembangan pangan berbahan lokal,” ujar dia.
Selain itu, masyarakat juga harus mulai belajar mengurangi konsumsi beras dan mengalihkannya dengan mengonsumsi pangan nonberas yang bahan bakunya diproduksi di dalam negeri (bukan impor).
Indonesia sendiri sebenarnya kaya akan sagu dengan luas lahan sekitar 1,25 juta hektare (ha) dengan potensi produksi lebih dari 12 juta ton. Banyak juga pangan olahan yang dapat dihasilkan dari sagu, seperti mi dan camilan lainnya.
“Saya mengimbau untuk kita mencintai produk pangan lokal seperti sagu. Intinya, semua bentuk keberpihakan penuh pada pangan lokal merupakan sebuah keniscayaan. Slogan mencintai pangan lokal belum cukup, harus diikuti dengan mengkonsumsi dan menjadikannya menu harian tiap keluarga,” ujar dia. (ant/dwi/rst)