Banyuwangi tak hanya identik dengan pesona pulau merah, dengan hamparan pantai panjangnya. Jauh sebelum keindahan pantai di wilayah paling timur Pulau Jawa ini dikenal luas, Banyuwangi sebenarnya lebih identik dengan penghasil ikan terbesar di Indonesia.
Di perairan Banyuwangi, berbagai jenis ikan lengkap tersaji. Dari puluhan jenis itu, ikan lemuru adalah yang paling banyak dijumpai. Ikan lemuru adalah jenis ikan kecil seukuran jempol tangan pria dewasa. Ikan jenis ini, biasa disebut orang awam dengan ikan sarden atau juga biasa dijuluki sebagai ikan pindang.
Mat Jufri, 52 tahun, nelayan asal Muncar ketika ditemui suarasurabaya.net sedang menjual hasil tangkapannya di sebuah perusahaan pengalengan ikan di Banyuwangi, Sabtu (12/9/2015) mengatakan, lemuru merupakan ikan favorit karena populasinya di sekitar selat Bali memang cukup melimpah. “Sekali berlayar, kami mendapatkan 5-7 ton lemuru,” kata Jufri. Tangkapan sebesar itu merupakan hasilnya bersama 35 orang nelayan yang berlayar menggunakan perahu slereg berukuran sedang.
Keberadaan lemuru di selat Bali sebenarnya tidak selalu berlimpah, kadang Jufri bersama kelompoknya hanya mendapatkan tangkapan di bawah 3 ton. Namun sejak akhir 2014, lemuru kembali memenuhi selat Bali. Data dari Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Muncar bahkan menyebut, jika peningkatan populasi lemuru juga menjadikan produktivitas unit penangkapan ikan tahun ini lebih baik dibanding tahun sebelumnya.
Saat ini, produktivitas pada setiap unit penangkapan ikan lemuru per hari di PPP Muncar mencapai 871 kilogram per unit alat tangkap. Tahun lalu produktivitas per alat tangkap hanya sekitar 650-700 kilogram per unit.
Berlokasi di ujung timur Pulau Jawa, Muncar merupakan tempat pertemuan arus Laut Jawa dari arah utara dan Samudra Hindia melalui arah selatan. Kondisi ini tentu menguntungkan nelayan karena jadwal melaut tidak akan terpengaruh gelombang besar, baik itu akibat angin barat maupun angin timur. Para nelayan Muncar hanya akan berhenti melaut saat purnama tiba selama 7 hingga 10 hari.
“Saat purnama, kami fokus memperbaiki alat tangkap yang rusak,” kata Muhibin, 48 tahun, nelayan asal Blimbingsari. Setelah purnama mereda, mereka biasanya kembali berburu di laut. Lemuru, tongkol, salem, dan layang yang merupakan bahan dasar pembuatan ikan kaleng menjadi buruan utama para nelayan ini.
Pada saat paceklik tangkapan, seperti yang terjadi pada periode akhir tahun, mereka biasanya hanya memasok ikan-ikan itu ke puluhan perusahaan pengalengan ikan. Namun jika ikan melimpah, nelayan juga bisa memasok ke perusahaan cold storage (tempat pendinginan) yang lantas mengirimnya ke berbagai negara.
“Jika musim panen melimpah, kami bisa mengekspor ikan lemuru hingga tujuh atau delapan kontainer dengan masing-masing kontainer berisi 24 ton ikan,” kata Murjito, pemilik cold storage berlian berkah di Muncar.
Sayangnya, saat tangkapan meningkat, harga lemuru dari para nelayanpun murah sehingga menguntungkan pemilik cold storage karena keuntungannya bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat. Jika biasanya lemuru dijual nelayan sekitar Rp 7 ribu hingga Rp8 ribu perkilogram. Namun jika tangkapan melimpah, harganya bisa anjlok hingga Rp 3 ribu perkilogram.
Jakfar, Ketua Asosiasi Pengusaha Cold Storage Muncar mengatakan, keuntungan yang diterima para pengusaha cold storage pada akhirnya juga dirasakan oleh masyarakat Muncar karena para pekerja di perusahaan-perusahaan cold storage adalah warga Muncar sendiri. “Tiap parusahaan minimal mempekerjakan 70 pekerja dan mereka warga Muncar,” kata Jakfar.
Banyaknya peluang kerja di perusahaan Cold Storage juga menjadikan warga Muncar banyak yang memiliki dua pekerjaan sekaligus yaitu sebagai nelayan serta pekerja di Cold Storage, sehingga kesejahteraan mereka tetap terjaga meskipun harga ikan tangkapan naik turun.
Lemuru Lokal Lebih Handal
Roni Fajar, Manajer Produksi PT Pacific Harvest, sebuah perusahaan pengalengan ikan mengatakan, sepanjang 2014 hingga saat ini, tangkapan ikan lemuru di Banyuwangi kembali berlimpah sehingga perusahaannya bisa fokus menyerap ikan dari nelayan lokal. “Saat ini lumuru yang kita datangkan dari impor paling banyak hanya 10 persen, sedangkan 90 persen dipenuhi dari tangkapan nelayan lokal,” kata Roni.
Sebagai perusahaan sarden atau pengalengan ikan terbesar di Banyuwangi, Pacific Harvest membutuhkan pasokan bahan baku sekitar 3 ribu ton ikan lemuru perhari. Dari jumlah itu biasanya hanya 50 persen yang bisa dipenuhi dari dalam negeri. Sisanya, harus impor dari sejumlah negara mulai Pakistan, India, Tiongkok, Jepang dan Yaman.
Sejak pertengahan tahun 2000an, tangkapan ikan lemuru di Banyuwangi memang menurun. Namun mulai akhir tahun 2014, hasil tangkapan nelayan kembali berlimpah. Selain stok ikan lokal meningkat, harga lemuru lokal juga lebih murah yakni Rp 6 ribu hingga Rp 7 ribu per kilogram. Padahal, harga lemuru impor mencapai Rp 8 ribu hingga Rp 9 ribu per kilogram.
Selain itu, ikan lemuru lokal juga lebih segar karena baru ditangkap. Ini tentu berbeda dengan lemuru impor yang sudah berpendingin sehingga jika dijadikan ikan kaleng akan lebih mudah rusak. Soal rasa, ikan lemuru lokal juga lebih gurih dibandingkan lemuru impor.
Roni berharap, pasokan ikan lemuru lokal terus baik sehingga kualitas produksi perusahaan yang memiliki 700 karyawan dan mengimpor lebih dari 80 ton ikan sarden kalengan ke berbagai negara ini juga tetap bisa dijaga.
Semetara itu, Yulia Pujiastutik, Ketua Asosiasi Pengalengan dan Penepungan Ikan (APPI) Banyuwangi mengatakan, melimpahnya ikan lemuru lokal merupakan imbas dari penenggelaman kapal ikan asing pencuri ikan yang belakangan digalakkan Menteri Kelautan dan Perikanan.
“Bu Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan) berhasil menakut-nakuti nelayan asing sehingga ikan tangkapan di selat Bali tidak lari ke luar negeri,” kata dia. Ini setidaknya juga bisa dilihat dari melimpahnya berbagai ikan di pelabuhan Muncar. Selain lemuru, ikan tuna yang sebelumnya selalu langka saat ini juga kembali banyak dijumpai.
Menurut Yulia, Peningkatan volume ikan tangkap tentu tak hanya dirasakan nelayan, puluhan perusahaan ikan di kawasan Banyuwangi saat ini juga turut merasakan berkahnya. Dari catatan APPI, di Banyuwangi saat ini berdiri 27 industri penepungan ikan, 13 industri pengalengan ikan, dan 27 unit pembekuan ikan.
Mengembalikan Kejayaan Lemuru
Ikan lemuru atau dalam bahasa latin disebut sardinella lemuru merupakan salah satu ikan ekonomis penting yang terdapat di Indonesia. Ikan lemuru biasanya ditemukan dalam jumlah besar di daerah yang memiliki kandungan zooplankton besar seperti di Selat Bali. Ikan lemuru yang biasa ditemukan di Selat Bali adalah jenis s longiceps.
Lemuru mengandung gizi yang cukup karena kandungan energinya mencapai 112 kilokalori, protein 20 gram, karbohidrat 0 gram, lemak 3 gram, kalsium 20 miligram, fosfor 100 miligram, dan zat besi 1 miligram. Selain itu di dalam ikan lemuru juga terkandung berbagai vitamin mulai dari vitamin A, B1 dan vitamin C.
Muhammad Arif, Dosen Budidaya Perairan dari Fakultas Perikanan dan Keluatan Universitas Airlangga Surabaya mengatakan, pasang surut ikan di Selat Bali bukan karena siklus migrasi ikan. Apalagi, secara geografis, Muncar merupakan tempat pertemuan arus Laut Jawa dari arah utara dan Samudra Hindia dari arah selatan.
Menurut dia, Selat Bali merupakan titik ideal bagi pertemuan migrasi ikan sehingga keberadaan ikan tangkap di kawasan itu tidak terpengaruh musim. Meski begitu, data dari Food and Agriculture Organization memang menunjukkan jika beberapa titik kawasan perairan di Indonesia saat ini mengalami overfishing.
Selain itu, problem yang cukup serius di perairan Indonesia adalah sektor paska tangkap. “Sektor paska tangkap kita sangat buruk,” kata Arif. Dia mencontohkan, saat ini di Banyuwangi berdiri beberapa Cold Storage yang dimiliki pengusaha asing. Cold Storage ikan inilah yang diduga memainkan peran untuk menyerap sebanyak-banyaknya ikan lemuru lokal untuk dikirim ke luar negeri.
“Padahal kebutuhan di dalam negeri saja masih kurang. Saya pernah ke Muncar dan melihat ada orang Jepang yang khusus mendirikan gudang pembekuan ikan, tapi ikannya sengaja dibawa ke luar negeri,” ujarnya. Karenanya, memutus mata rantai penjualan ikan harus segera dilakukan oleh pemerintah.
Jika nelayan bisa menjual langsung hasil tangkapannya ke perusahaan pengaleng ikan, tentu akan menguntungkan nelayan dan di sisi lain juga akan menguntungkan perusahaan karena harganya juga lebih murah ketimbang perusahaan membeli dari pengepul ikan.
Sementara itu, Heru Cahyono, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Jawa Timur mengatakan, ikan lemuru merupakan salah satu ikon andalan produksi ikan tangkap di Jawa Timur. Dari 399 ribu ton produksi ikan tangkap pertahun, lemuru dari selat Bali menyumbang sekitar 17 ribu ton pertahun.
“Selain dijadikan ikan kaleng, lemuru juga banyak dijadikan ikan pindang dan ikan asin serta menjadi minyak ikan, tepung ikan serta bahan pakan ikan,” kata Heru.
Selama ini, hasil tangkap ikan lemuru memang pasang surut akibat banyak faktor. Besarnya jumlah armada tangkap ikan yang tidak dibarengi dengan pengetauan akan kelangsung hidup ikan juga dinilai menjadi penyebab. Di Banyuwangi sendiri, saat ini tercatat ada 203 armada besar berukuran 10-30 gross tonnage (GT) kapal khusus penangkap lemuru.
Selain itu, banyak juga nelayan yang menggunakan jaring kecil sehingga menjadikan ikan lemuru berukuran kecil ikut tertangkap. Padahal lemuru kecil tidak laku dijual sehingga ikan yang masih kecil tersebut harus dibuang kembali ke laut dalam keadaan mati.
Untuk menjaga lemuru tak hilang, perbaikan ekosistem laut juga terus dilakukan dengan menggalakkan pembuatan apartemen ikan. Apartemen ikan merupakan terumbu karang buatan yang berbentuk partisi berongga tersusun kotak-kotak memanjang mirip apartemen. “Program apartemen ikan ini bahkan sudah dimulai tahun 2012,” kata Heru.
Beberapa kawasan yang saat ini sudah dilengkapi apartemen ikan diantaranya adalah pesisir utara laut Jawa, Selat Madura, dan Selat Bali. Sebanyak 1.815 apartemen ikan juga telah ditenggelamkan ke dasar laut di delapan lokasi yaitu di perairan Banyuwangi sebanyak 410 buah apartemen ikan, perairan Probolinggo sebanyak 415, perairan Lamongan 100, perairan Situbondo 315, pesisir Kota Probolinggo 240, pesisir Tuban 165, pesisir Pasuruan 85, dan perairan Gresik sebanyak 85 buah apartemen ikan.
Underwater restocking, atau penebaran benih ikan ke dasar laut juga telah dilakukan di sekitar apartemen ikan dengan jumlah bibit yang telah disebar mencapai 146.950 benih ikan. Ikan berbagai jenis itu disebar di beberapa titik diantaranya di pesisir Banyuwangi sebanyak 43.150 benih ikan, pesisir Probolinggo 30.400 ikan, Lamongan 3.400 ikan, Situbondo 27.000 ikan, pesisir Kota Probolinggo 27.000 ikan, Kabupaten Pasuruan 8.000 ikan, dan dasar laut Gresik sebanyak 8.000 benih ikan.
“Dari hasil uji coba yang kita lakukan selama tiga tahun terakhir, keberadaan apartemen ikan tersebut ternyata banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan karang yang tentunya juga akan mendukung ekosistem yang ada di sekitarnya,” ujarnya.
Keberadaan apartemen ikan ini, ternyata juga menjadikan tangkapan ikan para nelayan di sekitar kawasan itu juga meningkat hingga 40 persen dibandingkan sebelum adanya apartemen ikan. Meningkatnya jumlah tangkapan ikan lemuru di Selat Bali diklaim juga bagian dari keberhasilan program apartemen ikan ini. (fik)
Teks Foto :
-Seorang nelayan sedang menjual hasil tangkapannya di sebuah perusahaan pengalengan ikan di Banyuwangi.
-Proses pengalengan ikan di PT Pacific Harvest.
Foto-foto : Taufik suarasurabaya.net