Komisaris Polisi Yashinta Kanit Renakta Polda Jatim, mengatakan untuk penahanan pelaku kriminal anak-anak, tetap harus mengacu pada Undang-undang RI No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dan diupayakan menggunakan Restorative Justice.
Pemerintah, saat ini tengah menggodok aturan dan sistem baru terkait perlindungan anak yang tersandung masalah pidana di berbagai daerah. Ini sesuai dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Satu di antara poin penting penanganan pidana ini yaitu sistem Restorative Justice, yang artinya penanganan dengan melakukan musyawarah bersama beberapa lembaga terkait dan juga tokoh masyarakat. Penanganan ini dilakukan untuk menentukan hukuman yang akan diterima anak apabila tersangkut kasus pidana.
Jika ditemui tindak pidana anak yang dilakukan bersama orang dewasa, Kompol Yashinta menegaskan, petugas harus melihat ancaman hukumannya terlebih dahulu. Apabila ancaman hukumannya dibawah 7 tahun, maka harus dilakukan diversi.
Apabila gagal, upaya selanjutnya yakni dilakukan split perkara di Pengadilan. “Kita tetap harus mengacu dan melihat berapa ancaman hukumannya. Terlebih lagi harus sesuai dengan yang diterapkan dalam UU SPPA,” tegas Kompol Yashinta dalam pelatihan di Polrestabes Surabaya, Selasa (9/9/2014).
Soal penahanan, Kompol Yashinta menambahkan, petugas harus mengundang orang tua pelaku. Sebab, dalam upaya penahanan pelaku anak, harus ada penjaminnya. “Apabila masih dijumpai adanya penahanan pelaku anak di Kepolisian, aturan tersebut secara perlahan harus diubah,” tegas Kompol Yashinta.
Yang pasti, tambah Kompol Yashinta, sebaiknya hindari memenjarakan anak. Upayakan jangan sampai anak-anak berhadapan dengan hukum. “Kalau pun anak harus berhadapan dengan hukum, penjara bukan tempat bagi mereka,” pungkas Kompol Yashinta Kanit Renakta (Remaja Anak dan Wanita) Dir Reskrimum Polda Jatim.(tok/ipg)
Teks foto:
– Pelatihan aplikasi SPPA di Polrestabes Surabaya.
Foto: Istimewa.