Sabtu, 23 November 2024

Picu Kebutaan, Kasus Glukoma Paling Tinggi di Indonesia

Laporan oleh Dwi Yuli Handayani
Bagikan

Penyakit gloukoma menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka kebutaan di dunia dengan persentase mencapai 10 persen, kata dr Soni Agung Santoso dokter spesialis mata RSUD dr Saiful Anwar di Kota Blitar, Jatim.

“Di Indonesia, kasus gloukoma tergolong paling tinggi setelah katarak, akibat kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap jenis penyakit satu ini,” katanya saat menjadi pembicara tunggal dalam seminar kesehatan mata bertema “Gloukoma dan Mata Kering” di klinik mata Inoveye, Kota Blitar, Sabtu (23/8/2014).
     
Ia tidak merinci jumlah kasus penyakit yang disebabkan meningkatnya tekanan pada bola mata tersebut di Indonesia, namun data yang pernah dirilis Kementerian Kesehatan RI pada akhir 2013 mencatat kasus glukoma di Indonesia mendekati angka 500 ribu penderita.
     
Penyakit mata yang bisa menyebabkan kebutaan sejauh ini masih didominasi kasus katarak dengan persentase mencapai 39 persen.” Sebaran kedua yang bisa memicu kebutaan adalah kasus mata refraktif atau kelainan pada bola mata sehingga bayangan benda tidak bisa jatuh pada makula retina,” katanya seperti melansir Antara, Minggu (24/8/2014).

Menurut dia, kasus refraksi mata mencapai 18 persen di bawah katarak namun kedua jenis penyakit mata tersebut pada dasarnya masih bisa disembuhkan atau dipulihkan untuk penglihatan penderita dengan syarat segera dilakukan tindakan medis dan tidak ada penyakit bawaan lain.
     
Kondisi sebaliknya terjadi pada penderita glukoma. “Penderita glukoma yang sudah mengalami penurunan lapang pandang tidak bisa disembuhkan. Tindakan medis ataupun pengobatan hanya bisa dilakukan untuk mempertahankan kemampuan melihat yang masih ada,” terang dia.
     
Namun, lanjut dia, penyakit yang disebabkan meningkatnya tekanan cairan pada bola mata yang berdampak pada rusaknya sistem saraf penglihatan itu masih bisa dicegah (preventable blindness—red) atau setidaknya diperlambat melalui deteksi dini dan pengobatan yang benar.
     
“Meningkatnya tekanan pada bola mata disebabkan cairan (nutrisi) yang masuk ke dalam bola mata tidak diimbangi dengan cairan keluar akibat tersumbatnya saluran buang pada bola mata tadi. Obat ataupun tindakan medis membuat saluran buatan dimaksudkan untuk membantu keseimbangan antara cairan masuk dan keluar ini,” urainya.
     
Secara ilmu kedokteran, kata dr Soni, tekanan mata dikatakan normal apabila masih di bawah 20 mmhg. “Di atas itu sudah bisa dikatakan gloukoma, sekalipun mungkin seorang penderita baru memiliki tekanan (bolamata) sebesar 22 mmhg dan belum mengalami penurunan lapang pandang secara langsung,” ujarnya.
     
Pada kondisi berlanjut dan tidak segera tertangani, gloukoma tersebut bisa semakin parah. Akibatnya, semakin tinggi tekanan pada bola mata akan menyebabkan sistem saraf penglihatan rusak dan akhirnya mati karena tekanan yang terlalu tinggi.
     
Selain tekanan, terang dia, gloukoma juga bisa dipicu oleh penyakit hipertensi dan diabetes melitus.” Dalam beberapa kasus yang pernah ditemukan dalam dunia kedokteran, gloukoma juga bisa dipicu faktor lainnya seperti emosi yang tidak stabil, migrain, penyempitan pembuluh darah ataupun lainnya,” papar dr Soni.
     
Karenanya, ia mengimbau kepada penderita gloukoma untuk aktif melakukan kontrol rutin ke dokter untuk memantau perkembangan tekanan bola mata secara periodik.
     
Keluarga dari penderita gloukoma oleh dr Soni juga disarankan untuk aktif melakukan pemeriksaan diri, karena selain penyakit bersifat geneitis atau menurun, gloukoma biasanya banyak menyerang calon penderita yang telah berusia 40 tahun ke atas. (ant/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs