Mengenai hujan interupsi di sidang MPR pada Selasa (7/10/2014) siang, menurut pakar hukum tata negara seharusnya cara MPR menyelesaikan masalah sesuai dengan namanya.
“Dalam ranah UU 1945, MPR kalau menyelesaian masalah harusnya mencerminkan sesuai namanya, yakni musyawarah mencapai mufakat. Kalau yang dipertontonkan sekarang kayak gitu dengan keanggotaan dipilih semua, lembaga ini sudah tidak cocok lagi dengan namanya,” kata Dr. Himawan Estu bagio pakar Hukum Tata Negara saat diwawancarai Radio Suara Surabaya Selasa (7/10/2014).
Lanjutnya, kalau dulu ada DPR, utusan golongan, utusan daerah sebagai komponennya, sekarang Indonesia sudah kehilangan itu semua walaupun ada DPD dan golongan yang tidak terwakili sesudah perubahan UU tersebut.
Saat ditanya mengenai masing-masing fraksi yang ngotot untuk menempatkan diri di ketua MPR, tambah Himawan, sebenarnya MPR namanya “join vision”, ketika jadi 1 namanya jadi MPR, jika terpisah berubah menjadi DPD dengan DPR.
“Jadi, sebenarnya tidak ada lembaga yang permanen sebagai MPR, tapi saya melihat ini semua sebagai prestice yang dipertahankan. Dari dulu DPR dapat 2 sedangkan DPD dapat 3 dan tidak ada yang seramai sekarang, ini mungkin imbas di DPR,” ujarnya.
Dia menegaskan, dengan adanya supremasi parlemen yang diwakili MPR terdapat sistem check and balances sehingga semua lembaga itu posisinya sama. MPR pasca reformasi jadi sangat penting, karena di UU pasal 37 kewenangan perubahan UUD itu ada di tangan MPR.
“Disitu kita tidak mengenal referendum, jadi memang betul musyawarah mufakat, oleh sebab itu, ketika partai-partai politik berebut untuk mendapatkan ketua MPR, mereka memandang bahwa strategi ke depan adalah meraih konstruksi konstitusi dan itu sudah lama terjadi,” tegasnya.(ono/dwi)