Seiring dengan maraknya kasus tindak kekerasan seksual pada anak-anak, M Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akan menerapkan pembelajaran sistem reproduksi dan masuk dalam kurikulum 2014.
Pembelajaran itu sendiri akan mulai diajarkan atau terintegrasi dari sekolah tingkat dasar, mulai kelas satu SD hingga akhir sekolah menengah ke atas atau kelas tiga SMA.
Terkait dengan penerapan pembelajaran tersebut, Ibnu Hamad, Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat pada Radio Suara Surabaya mengatakan, secara teknis materi pembelajaran tersebut tidak diajarkan secara terpisah, namun dimasukkan dan jadi muatan dalam mata pelajaran (untuk SMP dan SMA) atau tema pembelajaran (untuk SD).
Mata pelajaran itu di antaranya, Penjaskes dan Ilmu Pengetahuan Alam untuk sekolah menengah dan tema pembelajaran mengenal diriku untuk sekolah dasar yang disesuaikan dengan tingkatannya masing-masing.
“Pembelajaran ini bermaksud melatih psikis anak dan termasuk pendidikan karakter. Jadi bukan secara anatomi biologi secara umum. Dari awal di Sekolah Dasar anak didik akan belajar mengenal tentang dirinya dan mengidentifikasi jenis kelamin, kemudian secara berkelanjutan hingga jenjang SMA,” kata Ibnu menjelaskan.
Dengan membentuk sikap dan karakter anak yang bisa mengenali diri sendiri dan orang lain, maka ia secara tidak langsung akan mempelajari tentang hak dan kewajiban. “Hal ini akan baik jika diterapkan secara tematik pada kurikulum pendidikan sejak dini. Tentu saja harus disesuaikan dengan tingkat kognitif, afektif, dan spikomotorik peserta didik,” terangnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Zainudin Maliki, Ketua Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Ia mengaku akan mendukung kebijakan Menteri Pendidikan terkait masuknya pembelajaran sistem reproduksi dalam muatan kurikulum dan bersifat tematik itu.
“Saya setuju dan itu tepat, kurikulum yang tematik itu memiliki banyak kelebihan dan dinamis melihat dan menghadapi masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat,” ungkap Zainudin.
Nantinya, menurut dia, dengan kurikulum yang tematis tersebut pendidik tidak hanya memberi pengetahuan tapi bisa membentuk karakter sesuai tema yang relevan dan dibutuhkan saat itu. Misalnya kasus kekerasan anak yang marak saat ini, melalui pendidikan yang tematis kasus tersebut bisa dicegah. Karena secara psikis anak didik tidak hanya tahu tapi berkarakter dan mampu bersikap sesuai yang diharapkan.
Sementara itu, terkait kekhawatiran yang menghinggapi beberapa orang karena penerapan pembelajaran ini, dinilai Zainudin sebagai hal yang wajar karena kekurangtahuan.
“Ini perlu komunikasi yang berkelanjutan hingga menemukan satu sudut pandang yang sama. Khawatir boleh saja, karena jika seorang anak diberi sesuatu yang belum waktunya memang menjadi kontraproduktif. Namun jika penerapan mata pembelajaran ini dilakukan dengan benar maka hasilnya akan sangat baik bagi anak didik,” paparnya.
Untuk itu guru sebagai pendidik harus mengukur tingkat kemampuan dan perkembangan anak didik di masing-masing tingkat pendidikan, sehingga tidak salah dalam memberi penjelasan dan pemahaman tentang kesehatan atau sistem reproduksi.
Dari sisi agama, Abdusomad Bukhori, Ketua MUI Jawa Timur juga memberikan dukungannya pada Kementerian pendidikan yang menerapkan pembelajaran reproduksi pada anak sekolah sejak dini.
“Dari segi agama bisa dan diperbolehkan. Para ulama juga setuju dengan penerapan itu, karena melihat kasus-kasus ditengah masyarakat yang meresahkan akhir-akhir ini. Terlebih itu menyerang anak-anak di sekolah,” kata Bukhori.
Menyangkut penerapannya yang dilakukan dari tingkat SD, Bukhori mengaku, itu tidak menjadi masalah selama caranya benar dan sesuai dengan tingkatannya masing-masing.
“Justru baik jika diterapkan sejak dini, ini kan masuk mendidik mental dan karakter anak. Saya yakin kementerian pasti juga sudah memikirkan betul bagaimana penerapan dan sudah disesuaikan, tidak gegabah,” jelas dia.
Menyoal kekerasan seksual pada anak yang menjadi perbincangan publik akhir-akhir ini, Bukhori memberikan usul agar upaya pencegahan tidak hanya dilakukan di sektor pendidikan saja. “Upayanya jangan di dunia pendidikannya saja, karena ada faktor lingkungan lain dan pengaruh dari media seperti televisi yang juga harus diarahkan. Jadi semua saling bersinergi,” katanya. (ain/ipg)
Teks Foto:
– Ilustrasi