Umurnya sudah 74 tahun. Namun perawakannya masih tinggi tegap. Cara bertuturnya seperti masih berusia 40-an, berapi-api dan fokus, khususnya saat bicara soal lokalisasi Dolly.
Siang itu, dengan telanjang dada, pria paruh baya itu tak segan berjalan menyusuri sepanjang Gang Dolly, sebuah kawasan lokalisasi yang telah membesarkannya.
Namanya Sopi’i, namun dia lebih suka dipanggil Pi’i. Pria kelahiran tahun 1940 itu mungkin adalah salah satu legenda hidup yang setia menemani perjalanan panjang suka duka lokalisasi itu.
“Saya besar di sini, dan nanti saya juga akan mati di sini,” kata Pak Pi’i, ketika berbincang dengan suarasurabaya.net. Meski dikenal sebagai pusat pelacuran terbesar di Indonesia, namun Pi’i mengaku bangga menyandang predikat sebagai “Arek Dolly”, sebuah julukan yang menurut dia menjadikannya mudah bergaul di manapun dan kapanpun.
Dia menuturkan, ketika berada di Makassar, begitu juga ketika di Lampung, meski dia tak memiliki saudara, tapi dia dengan segera
mendapatkan banyak teman. Nama Dolly, memang begitu terkenal, bahkan mungkin ketenarannya setara dengan predikat Surabaya sebagai Kota Pahlawan.
Lantas darimana asal nama Gang Dolly muncul ?. Gang Dolly, adalah sebuah kawasan yang berada di Jalan Kupang Gunung Timur I, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya.
Nama Dolly, kata Pi’i, merupakan penggalan nama dari mucikari legendaris periode awal di kawasan itu yang bernama Dolly Van der Mart, seorang perempuan Belanda. “Dia perempuan, tapi dipanggil Papi Dolly, dia lebih suka dipanggil Papi,” kata Pi’i.
Meski berperawakan tomboi, tapi Papi Dolly memiliki kecantikan yang luar biasa sehingga mampu membius siapapun. Papi Dolly sendiri awalnya buka praktek prostitusi di makam Kembang Kuning dekat dengan Masjid Rahmat.
Sementara kawasan Dolly sendiri, awalnya merupakan pemakaman warga Tionghoa zaman Belanda. Namun sejak awal kemerdekaan, pemakaman itu ditutup dan dilarang digunakan lagi.
Keankeran kawasan itu lantas disulap menjadi sebuah kawasan yang dijadikan ajang pemuas nafsu. Adalah, sebuah warung bernama Tekate, yang merupakan milik warga asli Jarak yang memulai bisnis prostitusi di daerah itu.
Tekate awalnya hanya berjualan kopi, tapi lambat laun beralih menjadi warung minuman keras. Seiring penutupan makam di kawasan itu, Warung Tekate tak hanya menjajakan minuman keras, melainkan juga mulai menjajakan wanita penghibur.
Pi’i, berkisah, saat itu, Wisma Tekate mulai ramai pengunjung, apalagi setelah pusat lokalisasi kala itu yaitu di Makam Kembang Kuning dan Jagir, Wonokromo, mulai ditertibkan oleh Brigjen (purn) R.Soekotjo, Walikota Surabaya sekitar tahun 1966an.
Lokalisasi Jagir ditertibkan supaya tak menggangu jalur kereta api dan lantas dipindahkan ke kawasan yang kini dikenal sebagai kawasan lokalisasi Jarak. Sedangkan lokalisasi di kawasan Kembang Kuning, termasuk wisma milik Papi Dolly, dipindah ke kawasan yang kini dikenal sebagai Gang Dolly.
“Jadi yang buka lokalisasi di sini bukan Papi Dolly, karena wisma Tekate sudah ada duluan,” kata Pi’i.
Meski Wisma Tekate yang pertama, tapi keberadaan Papi Dolly yang pindah di kawasan itu menjadikan Tekate tak lagi ramai. Kecantikan Papi Dolly, serta adanya beberapa PSK non pribumi menjadikan wisma Dolly yang pindahan ini cepat ramai mengalahkan Tekate.
Kehadiran Papi Dolly di kawasan itu juga menjadi daya magnet tersendiri. Apalagi, di saat bersamaan muncul kebijakan dari pemerintah Kota Surabaya yang mengubah kawasan makam Tionghoa di daerah Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, menjadi kawasan pemukiman. Pemakamanpun dipindahkan dan disulap jadi perkampungan.
Begitu juga di dekat wisma milik Papi Dolly, saat itu di hampir bersamaan juga muncul tiga lokalisasi baru yang berafiliasi dengan
Papi Dolly yaitu wisma Sul, NM dan MR.
Dalam buku berjudul “Dolly : Membedah dunia Pelacuran Surabaya” yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982, disebutkan jika pada tahun 1966 memang muncul kebijakan yang menjadikan kawasan Dolly diubah dari kompleks pemakaman menjadi perkampungan. Akibatnya, sejak saat itu, kawasan itu diserbu para pendatang yang menghancurkan makam-makan dan mengubahnya menjadi kawasan perkampungan.
Cahyo Purnomo Wijadi, pengarang buku ini mengatakan Papi Dolly memang sempat berpindah-pindah lokasi. “Awalnya dia mendirikan wisma di kawasan Pandegiling, lantas pindah ke Kembang Kuning dan terakhir ke Gang Dolly,” kata dia.
Perpindahan ini, memang mengikuti pola perkembangan kota. Awalnya lokalisasi memang didirikan di pinggiran kota, tapi seiring perkembangan , maka lokalisasipun dipinggirkan.
Sementara itu, dalam perkembangannya, Gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana. Terdapat lebih dari 500 wisma, kafe dan panti pijat berjajar. Tiap malam sekitar 1400an lebih penjaja cinta, siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1980-1990. Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian Jl Jarak.
Kini, wisma-wisma yang disebutkan Pi’i sudah hilang semua berganti wisma-wisma modern. Bahkan ada juga satu wisma yang dilengkapi tangga berjalan. Benar-benar mewah dengan fasilitas mirip hotel berbintang.
Wisma Tekate, saat ini sudah menjelma menjadi sebuah wisma bernama Wisma Jodi. Begitu pula lima wisma milik Papi Dolly, saat ini telah berganti pemilik dan berganti nama menjadi beragam wisma.
Ketua RW 6 membenarkan kisah ini. Menurut dia, Papi Dolly dulunya memiliki lima wisma sekaligus yaitu Wisma nomor 4 yang kini sudah berganti kepemilikan dan menjadi Wisma Wisata; lantas Wisma nomor 6 yang kini menjadi Wisma Mamamia; kemudian Wisma nomor 17 dan kini berganti nama menjadi Wisma Nusantara Baru; dan terakhir adalah Wisma nomor 18 dan kini sudah menjadi lahan kosong untuk areal parkir.
Pada awal tahun 1990an, kata Ketua RW 6 ini, Papi Dolly lantas menjual hampir seluruh wismanya dan memilih menetap di Malang. Dan ketenaran Papi Dolly-pun kini tinggal sejarah.
Begitupun, jika Pemerintah Kota Surabaya benar-benar menutup kawasan itu, maka Dolly memang akan menjadi kisah masa lalu tentang kedikdayaan bisnis kenikmatan di Kota Surabaya. (fik)
Teks Foto :
-Sopi’i, sesepuh Gang Dolly ketika berjalan di antara seribuan PSK yang berunjuk rasa di Gang Dolly.
-Pekerja Dolly.
Foto : Taufik suarasurabaya.net