Pemulihan jiwa pasca mengalami trauma kekerasan seksual pada anak, menjadi pekerjaan rumah yang panjang bagi para orang tua. Kuncinya orang tua harus membangun kekuatan diri si anak. agar dia bisa menyadari secara psikologis mengapa dia menjadi korban kekerasan dan mengapa saat itu dia tidak bisa melawan.
“Kuncinya, memang ada pada diri sendiri,” Kata Astrid Wiratna, Psikolog saat dihubungi suarasurabaya.net
Untuk menciptakan kondisi tersebut, tidak mudah. Orang tua harus “menginvestasikan” daya dan waktu. “Pertama, orang tua harus memberi penjelasan ke anak, dia tidak bersalah.” Tambah Astrid.
Hal itu penting, karena kebiasaan psikologis seorang korban kekerasan adalah menyalahkan diri sendiri. Kenapa saya korbannya? Kenapa saya tidak bisa melawan?. Erangan-erangan tersebut membuat korban kekerasan sulit. move on.
“Kalau sudah ada rasa aman, dari orang tua, anak akan lebih nyaman bercerita, ” Ujar Astrid.
Setelah nyaman secara psikologis, baru anak diperiksakan secara biologis. Saat sudah nyaman secara biologis, barulah orang tua bisa berlanjut ke tahap terapi psikologis. Terapi ini dianggap cukup, ketika korban kekerasan sudah mampu menjelaskan pada dirinya sendiri, perihal penyebab kekerasan dan kenapa Dia korbannya.
Sebelum anak menjadi korban kekerasan, orang tua bisa melakukan langkah pencegahan. Caranya klasik, membangun komunikasi sejak dini, pahami kebiasaan anak karena sudah titahnya, orang tua menjadi pihak yang paling memahami kondisi anak.
“Orang tua harus dekat dengan anak, komunikasi tidak boleh putus, kalau orang tua sudah dekat dengan anak, pasti paham jika ada kebiasaan yang berubah. Dari situ bisa digali, ada apa dengan si anak. Kita ini terkadang, terlalu meng-sub kan kepentingan anak kita ke orang lain. Padahal orang tua ini yang seharusnya lebih tau, ” Pungkas Astrid. (ras/rst)