Nurmillaty Abadiah, pelajar kelas XII SMA Khadijah tak langsung pulang ke rumahnya. Papan bertuliskan “SMA Khadijah, Sekolah Internasional” dia pandangi. Air matanya menetes, tiga tahun belajar di sekolah itu, tak cukup jitu untuk bekalmengerjakan Ujian Nasional kala itu.
“Dia menangis membayangkan murid lainnya yang ada di sekolah yang tak maju, apakah mampu mengerjakan soal serumit itu,” cerita Ida Rohma Susiani, Ibu Nurmillaty Abadiah, ketika berkunjung ke kantor redaksi Suara Surabaya, Selasa (29/4/2014). Cerita Ida Rohma juga meluncur dengen tetesan air mata. Dia tak menyangka kisah yang dialami putri keduanya itu, kini ramai dibicarakan publik.
Di kantor redaksi Suara Surabaya, Ida tak sendiri, Imam Ahmad Mawardi sang suami dan dua putrinya termasuk Tati, julukan Nurmillaty Abadiah, ikut datang ke kantor redaksi yang berada di Puncak Bukit Wonokitri itu.
Ida dan keluarga datang demi mengantarkan Tati bertemu dengan Siami, ibu rumah tangga yang pernah mengalami nasib serupa, berjuang untuk kejujuran UN. Siami adalah pahlawan dari Gadel, Surabaya, yang sempat terusir dari rumahnya karena membongkar kecurangan UN yang terjadi di sekolah anaknya tiga tahun silam.
Di Suara Surabaya, keluarga Ida Rohma tak hanya bertemu dengan Siami, mereka juga berdiskusi dengan Sulistyanto Soejoso, anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur; serta Buki Setiawan, dari Komunitas Indonesia Bercerita.
Obrolanpun tampak gayeng, meski sesekali diwarnai tetesan air mata. Ketika Ida menceritakan kisah putrinya yang berdiri memandangi papan bertuliskan “SMA Khadijah, Sekolah Internasional”, matanya sempat berlinang.
Obrolan siang itu, sebenarnya lebih banyak berisi curhat yang terbungkus tukar pendapat. Dimulai dengan kisah dari Tati yang berani menulis kemarahannya menghadapi UN. Tulisan berjudul “Dilematika UN : Saat Nilai Salah Bicara” itu kini memang ramai diperbincangkan di media sosial.
Buki Setiawan, dari Komunitas Indonesia Bercerita mengatakan, dia membaca tulisan Tati pada hari Kamis (24/4/2014), saat berada di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Buki yang juga pegiat gerakan “Ayo Tolak UN”, lantas mengunggah tulisan Tati ke blog tolak UN.
“Indonesia pernah tak memiliki UN, ternyata kwalitas pendidikan kita lebih baik, tidak seperti sekarang yang penuh kecurangan,” kata Buki. Dia berharap, tulisan Tati bisa membuka hati siapa saja untuk tak menjadikan UN sebagai tolak ukur keberhasilan siswa. Standar lulus, harusnya ditentukan guru dan unit belajar, merekalah yang memiliki otoritas dan telah mendampingi siswa selama proses belajar mengajar, bukan negara.
Sulistyanto Soejoso, mengisahkan, selain Tati, protes yang sama sebenarnya sempat dikirimkan Kepala SMAN 4 Tuban. “Kepala SMA di Tuban malah menuliskan protesnya disertai bukti kebocoran jawaban UN lengkap 20 varian soal,” kata dia.
Menurut Soejoso, kecurangan UN semakin menjadi karena UN juga dijadikan indek kompetensi sekolah. Akibatnya, banyak sekolah ikut berbuat curang. Minimal mereka membiarkan bahkan menyuruh siswanya untuk tak jujur.
Imam Ahmad Mawardi, orang tua Tati yang juga dosen pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya menimpali, kurikulum yang sentralistik menjadikan sekolah pinggiran tak bisa sejajar dengan sekolah perkotaan. Ahmad Mawardi berharap, UN tak lagi dijadikan standar kelulusan.
“Bukan karena kemungkinan nilai anak saja jeblok, tapi ini jelas tak adil. UN kali ini tak jujur, banyak bocoran jabawan beredar,” kata dia.
Tati-pun menimpali. Dia mengisahkan, bocoran jawaban mulai tersosialisasi sepekan sebelum ujian. “Setelah ujian selesai, saya sempat iseng cocokkan dengan jawaban saya, ternyata hanya tiga soal yang berbeda jawabannya, saya ndak tahu saya atau bocoran soal itu yang salah menjawab,” kata dia.
Dan kisah bocornya jawaban UN yang 80 persen benar inilah yang menjadi salah satu bahan tulisan Tati di facebook yang menghebohkan itu. (fik)
Teks Foto :
-Suasana diskusi Ujian Nasional di Suara Surabaya.
Foto : Taufik suarasurabaya.net