Replika piala berwarna kuning keemasan itu berdiri kokoh di saluran air yang ada di RW 14 Kelurahan Kalirungkut, Kecamatan Rungkut. Ditopang beton berbentuk dua tangan warna hitam, piala setinggi 50an cm itu merupakan replika kebanggaan warga Kalirungkut setelah berhasil menjuarai gelaran cinta lingkungan dari Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2008 silam.
Pantauan suarasurabaya.net, Sabtu (8/3/2014), gelar juara yang diraih sejak 2008 itu, tak menjadikan RW 14 Kalirungkut kembali ke posisi awal, kumuh nan kotor. Pot berbagai jenis dan ukuran masih tampak dengan beragam bunga yang merekah. Bercat biru, aneka pot tampak tertata di seluruh halaman rumah warga. Saking banyaknya, bahkan tembok dan pagar warga nyaris tak terlihat, tertutup dedaunan dan bunga.
Sebagai penunjang keasrian lingkungan, warga juga membangun lokasi pembibitan yang ada tepat di tengah kampung. Di lahan itu, berbagai jenis tanaman yang mayoritas adalah tanaman tumbuhan (toga) dibibitkan.
Kegiatan pilah sampah yang merupakan kegiatan mingguan hingga kini juga terus dilakukan. Kecintaan pada sampah bahkan menjadikan warga Kalirungkut benyebut sampah sebagai “Sumber Daya Alami”. “Kalau sampah kesannya harus dibuang, tapi ini adalah sumber daya alami yang bisa kita manfaatkan,” kata Fatlakah koordinator fasilitator lingkungan Kalirungkut.
Fatlakah mengisahkan, sebelum menjadi sejuk dan asri seperti saat ini, Kalirungkut dulunya sangat kumuh. Apalagi hampir 50 persen warga Kalirungkut merupakan warga pendatang (warga kos), maklum pusat pabrik-pabrik di Surabaya berada di Kecamatan Rungkut.
Fatlakah berkisah, awal memberikan penyadaran pada warga, banyak penghuni kos yang akhirnya pindah dari kampung itu. “Kampung kok banyak aturan,” ujar Fatlkah menirukan alasan penghuni kos pindah. Fatlakah juga sering dilabrak pemilik kos akibat kejadian ini.
Bersama warga yang telah sadar, Fatlakah lantas membentuk polisi lingkungan yang bertugas tidak untuk menegur warga, melainkan akan beramai-ramai membersihkan rumah warga yang tidak sadar kebersihan. “Jika rumah itu tetap kumuh, kami beserta warga lainnya akan membersihkan rumah itu, dia pasti akan malu dan tergerak membersihkan rumahnya sendiri,” terang janda dua anak ini.
Tak hanya bersih dari sampah, di kampung ini ternyata juga bersih dari bak sampah. Artinya, jangan heran jika anda masuk kampung ini, anda tidak akan menemukan satupun tempat sampah, karena tempat sampah harus disimpan di dalam rumah.
Tujuannya satu, agar warga secara sadar memilah sampah sendiri di dalam rumahnya masing-masing. Warga hanya diberikan waktu satu jam tiap dua minggu sekali untuk mengeluarkan tempat sampah. Itupun hanya sampah yang tidak bisa diolah yang bisa dikeluarkan untuk kemudian diambil oleh petugas gerobak sampah.
Sampah dari gerobak ini tidak begitu saja dibuang ke tempat pembuangan akhir, melainkan dibawa ke lokasi pengolahan sampah terpadu milik Universitas Surabaya (Ubaya) yang kebetulan berada di kampung itu. Setelah diolah jadi pupuk, hasilnya lantas dibagi dua antara Ubaya dan warga.
Untuk sampah kering, setiap sepekan sekali, warga mengumpulkan di bank sampah untuk dibuat kerajinan. Sedangkan untuk sampah yang mudah diolah seperti sampah nasi, disimpan di dalam takakura (sebuah keranjang pengolah sampah menjadi pupuk).
Takakura sendiri merupakan bak sampah karya ilmuan Jepang bernama Takakura yang pada tahun 2005 lalu bekerjasama dengan Ubaya menciptakan sebuah keranjang sampah inovatif. Takakura sendiri merupakan keranjang dari plastik yang di dalamnya diberikan lapisan sekam, di atas sekam inilah sampah makanan disimpan yang lantas ditutup dengan sekam lagi di atasnya.
Tumpukan sampah makanan bisa ditambah tiap hari. “Meski kecil, takakura tidak akan penuh dalam waktu setahun,” kata Fatlakah. Setelah setahun, atau minimal tiga minggu sekali, sampah yang disimpan di dalam takakura bisa dijadikan pupuk tanaman.
Selain takakura, setidaknya ada keunikan lainnya di kampung ini. Saluran air di dalam kampung ternyata disekat-sekat semacam filter yang mana sekat pertama dipenuhi dengan batu kali, kemudian jerami, batok arang serta batu kerikil dan ijuk. Setelah masuk ke dalam sekat-sekat ini, air dari dalam saluran ini lantas dijadikan sumber air untuk menyirami tanaman warga.
Di kampung ini, meskipun air banyak ditemukan mengendap di saluran air, anehnya sama sekali tak mengeluarkan bau tak sedap. Ini lantaran warga memiliki ramuan kusus untuk menjaga air tetap jernih dan tanpa bau. Campuran kusus ini terbuat dari campuran tape ketan, dicampur dengan tempe, air tebu, serta cairan susu fermentasi. Diendapkan selama empat hari, cairan ini lantas dimasukkan kedalam genangan air yang membuat bau dan kekeruhan di dalam air akan langsung hilang.
Dan sama dengan Jambangan, Kalirungkut, kini juga menobatkan diri sebagai kampung wisata yang penuh dengan keindahan dan kesegaran. (fik/edy)
Teks Foto :
– Replika piala kebanggaan warga Kalirungkut.
Foto : Taufik suarasurabaya.net