Meski tersohor dengan kecantikannya, Dolly Van der Mart atau Dolly Khavit, pendiri kawasan lokalisasi Dolly, ternyata lebih suka dipanggil Papi ketimbang Mami Dolly.
Kecantikannya memang tak mampu menutup sifat tomboi yang dia miliki. Hingga akhirnya, Dolly memang tak sekadar wanita namun kadang juga menjelma sebagai seorang pria.
“Dia itu perempuan tapi tomboi, jadi meski cantik sukanya dipanggil Papi bahkan ada yang bilang dia itu juga suka sesama jenis,” kata Tukirin, pemilik wisma Putri Lestari, ketika berbincang dengan suarasurabaya.net, Senin (16/6/2014).
Dan melalui kecantikan inipula, Papi Dolly mampu mengubah wajah Putat Jaya, Surabaya, kini menjadi kawasan prostitusi terbesar dan tersohor se Indonesia. Papi Dolly kini memang tinggal sejarah, namun namanya tetap melekat sebagai icon kawasan lokalisasi terbesar di Indonesia.
Lantas, di mana sebenarnya wisma pelacuran yang dulu pernah digunakan Papi Dolly untuk menjalankan bisnis prostitusinya.
Tak ada catatan sejarah pasti kecuali sebuah lokasi parkir nomor 17 di Gang Dolly yang disepakati warga sekitar jika lokasi itu dulunya adalah milik Papi Dolly.
Ketua RW 6, Kelurahan Putat Jaya yang enggan disebut nama aslinya, membenarkan jika lokasi parkir itu adalah salah satu rumah yang dulu pernah dimiliki Papi Dolly.
Menurut dia, Papi Dolly memulai praktek prostitusi dengan membuka wisma di kawasan Kembang Kuning, dekat dengan Masjid Rahmat. Namun karena terlalu dekat dengan Masjid dan Makam tokoh suci Mbah Karimah, maka Walikota Surabaya kala itu menggusur kompleks pelacuran di Kembang Kuning dan memindahkannya ke kawasan Jl Kupang Gunung Timur.
“Ketika berpindah ke sini, Papi Dolly mendirikan rumah yang ada di sana itu,” kata Ketua RW 6 sambil menunjuk sebuah bangunan yang kini bernama Wisma Tentrem.
Tak butuh waktu lama, Papi Dolly tak hanya mendirikan satu rumah, melainkan juga membangun enam rumah sekaligus di Jl Kupang Gunung Timur I. Rumah-rumah yang berfungsi sebagai wisma pelacuran itu selain Wisma Tentrem adalah wisma nomor 4, lantas nomor 6, nomor 8, nomor 17, dan nomor 18 yang semuanya berada di Jl Kupang Gunung Timur I.
Wisma di nomor 4 kini telah berubah nama menjadi wisma Wisata; lantas wisma nomor 6 kini berganti menjadi Wisma Mamamia; Wisma nomor 8 menjadi Wisma Madona; nomor 17 menjadi Wisma Nusantara Baru; dan nomor 18 kini menjadi lahan parkir.
Dari total enam wisma yang dimiliki, ternyata hanya dua yang dikelola oleh Papi Dolly yaitu Wisma Tentrem, serta Wisma nomor 17. Sedangkan wisma lainnya disewakan pada teman mucikarinya. Sayang dari enam wisma yang dimiliki, kini tak ada satupun yang dikelola oleh keturunan Papi Dolly. “Semua sudah berpindah kepemilikan. Menjelang Papi meninggal pada tahun 1990an, semua dijual dan Papi pindah ke Malang hingga meninggal di Malang,” kata dia.
Tjahjo Purnomo Wijadi, pengarang buku “Dolly : Membedah dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly” membenarkan cerita dari Ketua RW 6 ini. Hanya, menurut Tjahjo, Papi Dolly tak membangun enam wisma, melainkan hanya empat yaitu wisma yang kala itu masing-masing diberinama wisma “T,” “Sul,” “NM,” dan “MR”.
Menurut dia, keberlangsungan bisnis prostitusi dari keluarga Papi Dolly sebenarnya sempat dilanjutkan oleh seorang anak hasil hubungan dengan seorang pelaut dari Belanda. “Satu anaknya bernama Edy, pernah melanjutkan dengan mengelola Wisma nomor 17. Tapi kini dia sudah meninggal dan tak ada lagi keturunan yang melanjutkan,” ujar Tjahjo Wijadi.
Menurut dia, sejarah keberadaan Papi Dolly tak bisa lepas dari perkembangan bisnis prostitusi di Kota Surabaya. Dolly sebenarnya bukanlah kompleks pelacuran tertua di Surabaya karena sebelumnya telah berdiri beberapa kompleks pelacuran sejak sebelum kemerdekaan mulai dari Bangunrejo, Kremil, Moroseneng, Jagir Wonokromo, Pandegiling serta Kembang Kuning.
Dari beragam lokalisasi ini, hanya Bangunrejo, Kremil, dan Moroseneng yang bertahan sebelum akhirnya pada tahun 2013 silam resmi ditutup oleh Tri Rismaharini Walikota Surabaya. Sedangkan Jagir sudah tutup karena pada tahun 1966 dipindahkan ke kawasan Jarak dan kini dikenal sebagai lokalisasi Jarak.
Begitu juga Pandegiling sudah terlebih dulu tutup karena dipindahkan ke Kembang Kuning. Yang lantas Kembang Kuning ini juga telah tutup karena pada tahun 1966, Brigjen (purn) R.Soekotjo, Walikota Surabaya memindahkannya ke Jl Kupang Gunung Timur atau yang kini dikenal sebagai Gang Dolly.
“Sejarah lokalisasi tak lepas dari perkembangan kota. Dulu Lokalisasi itu berada di pinggiran, seiring perkembangan kota lantas mereka tergusur dan terus terpinggirkan,” kata Tjahjo Purnomo Wijadi.
Kawasan Gang Dolly sendiri awalnya adalah kompleks Makam Tionghoa, yang lantas saat itu Walikota Surabaya memberikan kebijakan untuk mengubah kawasan itu menjadi perkampungan. Kebijakan itulah yang digunakan bagi pelaku bisnis prostitusi untuk mulai merintis prostitusi baru di Dolly.
Dan kini, Gang Dolly sedang menunggu hari. Tri Rismaharini Walikota sudah menetapkan jika Dolly segera ditutup pada 18 Juni nanti. (fik)