Sungai kecil yang membelah Jambangan tampak jernih dan nyaris tak ada sampah. Memiliki lebar tak lebih dari dua meter, sungai ini berhias ribuan pot mulai dari bekas kaleng cat, botol air mineral, hingga pot beneran, berjajar dengan aneka bunga dengan melati dan asoka yang paling dominan.
suarasurabaya.net, yang menyambangi Jambangan, Sabtu (8/3/2014) pagi, mendapati seluruh gang di Jambangan tampak hijau, dengan pagar tertutup dedaunan indah nan sejuk. Lantai gang yang terbuat dari paving juga dicat aneka warna, sungguh menjadikan kawasan ini begitu asri.
Kumuh, bau dan penuh kotoran yang dulu melekat pada Kelurahan Jambangan kini hanya cerita masa lalu. “Sejak 2001 kami mulai berbenah,” kata Efti Erawati, kader lingkungan setempat. Menurut Efti, warga Jambangan awalnya bahkan tak banyak yang memiliki WC permanen.
Buang hajat di sungai adalah sebuah tradisi yang melekat pada Jambangan. Akibatnya, WC-WC terapung yang dikenal dengan sebutan “Helikopter”, dulu menghias di sepanjang sungai yang membelah kampung itu.
Beruntung, warga Jambangan mendapatkan kesempatan didampingi salah satu pegiat lingkungan dari sebuah universitas yang ada di Surabaya. Pegiat lingkungan inilah yang lantas mendampingi warga untuk meninggalkan berbagai kebiasaan buruk.
“Stop buang hajat di sungai” adalah kampanye pertama yang digalakkan di kampung itu. Setelah itu kampanye dilanjutkan dengan memberikan kesadaran untuk stop buang sampah di sungai.
Selain itu, warga juga mulai diarahkan melakukan penghijauan kawasan. Sebagai rangsangan, pernah suatu saat ada program melatisasi (memberikan bantuan bunga melati) yang mana setiap rumah diberikan satu pot bunga melati untuk dibibitkan. Sejak saat itu, warga juga mulai dikenalkan dengan program memilah sampah.
Siti Nurkiswati, Fasilitator lingkungan Jambangan mengatakan, perubahan yang mulai dirintis sejak 2001 ini mulai terasa pada tahun 2005. “Tahun 2005 ada sosialisasi dari pemkot sehingga pada tahun 2006 semua gang dan sungai sudah merdeka dari sampah,” kata Nurkiswati.
Nurkiswati mengisahkan, saat awal memperkenalkan pemilahan sampah, banyak warga yang ogah-ogahan. Bahkan ada juga warga yang menentang karena kebiasaan untuk bermalas-malasan terusik. “Kenapa harus dipilah, wong tinggal buang di sungai sudah beres semua,” kisah Nurkiswati.
Sejak tahun 2006 inilah, kata dia, ketelatenan para pendamping mulai berbuah manis. Apalagi pemilahan sampah juga memberikan penghasilan tambahan karena sampah kering juga laku dijual. Begitu juga sampah basah bisa dijadikan kompos untuk tanaman.
Ketertarikan warga bertambah setelah ada sebuah perusahaan yang memberikan bantuan alat komposter. Tak hanya itu, warga juga dilatih untuk memproduksi sampah kering menjadi berbagaimacam kerajinan. Hasil dari kerajinan dari sampah ini lantas dijual yang uangnya masuk kas untuk dijadikan modal perbaikan lingkungan.
Alat komposter manual (berupa drum plastik besar) juga mulai diciptakan yang secara berkala, warga memasukkan sampah basah ke dalam alat ini. Hasilnya, intensitas pengangkutan sampah di kelurahan itu terus berkurang jika biasanya dilakukan dua hari sekali, saat ini angkut sampah hanya dua kali sepekan. Itupun yang diangkut hanyalah sampah kering yang memang sudah tak bisa diolah lagi.
Dan atas keberhasilan ini, kini Jambangan bak kampung surga yang berdiri di tengah kepadatan Surabaya. Jambangan kini juga menjadi kampung wisata.
Program pemilahan sampah yang sukses di Jambangan kini sudah mulai melebar dan bukan lagi milik Jambangan. Beberapa daerah di Surabaya kini mulai menirunya. Bahkan keberhasilan menjadikan kampung bersih nan asri yang dikembangkan di kelurahan Gundih dan Kalirungkut, awalnya berguru ke Jambangan. (fik/edy)
Teks Foto :
– Pintu Masuk kampung wisata Jambangan.
Foto : Taufik suarasurabaya.net