Dalam kemajemukan, Islam Nusantara dinilai sebagai kiblat kehidupan Muslim di dunia pascaruntuhnya Andalusia. Warisan terbesar peradaban Islam yang dikembangkan di nusantara adalah corak toleransi dan moderasi keberagamaan yang kokoh.
“Islam Nusantara sangat kaya perspektif, mulai dari ekspresi seni tari hingga kajian sufistik. Dalam domain sosial dan humaniora, Islam Nusantara adalah role model Islam yang damai dan mampu hidup berdampingan dengan agama dan kepercayaan apapun,” papar Komarudin Hidayat rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dalam Konferensi Internasional bertajuk Islam Nusantara Past and Present di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Senada dengan Komarudin, Tommy Christomy Peneliti teks klasik dari Universitas Indonesia (UI) menyebut bahwa jasa peradaban Islam di nusantara adalah bersatunya kerajaan-kerajaan kecil dari Aceh hingga Papua. Teks-teks berbahasa melayu yang ditulis dalam aksara Arab Jawi mampu menjadi pintu masuk peradaban tulis di nusantara.
Tommy menjelaskan bahwa teks sastra melayu Islam berperan besar tidak hanya dalam hal Islamisasi tetapi juga sastra nusantara secara umum.
Keterputusan tradisi tulis yang kaya tersebut disinyalir karena penjajah Belanda memaksakan aksara latin. “Sejak dipaksa meninggalkan tulisan aksara Jawi untuk digantikan dengan aksara Romawi, bangsa Indonesia mengalami keterputusan selama beberapa dekade. Hingga muncul sejumlah karya produk dari pendidikan Belanda pada abad ke-20,” jelasnya.
Sementara itu, Prof. Arlo Griffiths, arkeolog Perancis, menegaskan bahwa banyak produk budaya Islam yang sudah menyatu ke dalam budaya lokal tanpa disadari. “Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia tak mengenal pembuatan nisan pada makam,” ujarnya.
Namun, ada masalah mendasar dalam mengembangkan peradaban Islam Nusantara ini, yaitu kurangnya kepercayaan diri dari masyarakat di nusantara sendiri. “Masyarakat kita merasa minder jika berhadapan dengan masyarakat Islam dari timur Tengah atau Asia Selatan. Mereka merasa kuatir jika Islamnya tak murni,” sebut Dr Jamhari yang juga arkelolog UIN Jakarta.(faz/ipg)