Senin, 25 November 2024
Kisah Kampung Wisata Surabaya (bagian III, habis)

Gundih, Dari Preman Jadi Kampung Teladan

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan

Segar, bersih dan nyaris tak ada sampah berkeliarah, itulah nuansa yang ada di kawasan Margorukun, Kelurahan Gundih, Kecamatan Bubutan ketika suarasurabaya.net, mengungunjugi kawasan itu, Sabtu (8/3/2014) siang.

Berada di barat Stasiun Pasar Turi, Surabaya; Gundih kini tak lagi menyeramkan. Sebutan kampung preman Pasar Turi yang dulu melekat, berubah. Gundih kini menjadi sebuah kampung penuh bunga dengan aneka warnanya.

Maryam, penjual lontong mie yang ada di salah satu gerbang masuk RW 10 Gundih mengisahkan, ke-angkeran kawasan itu, menjadikan jajaran intelkam dari Polsek Bubutan, dulu hampir tiap hari selalu mangkal di warung lontong mie miliknya. Bukan untuk jajan lontong, melainkan untuk mengawasi gerak-gerik warga sekitar.

Tapi itu adalah cerita masa lalu. Sejak tahun 2007, kampung yang semula menyeramkan, lantas berbenah. Bahkan, pada 2009, RW 10 Gundih pernah menyabet predikat sebagai kampung terindah se-Surabaya dengan memboyong tropi serta piala dari ajang kampung bersih yang digelar pemerintah Kota Surabaya.

Piala itu mereka boyong ke Gundih setelah warga berhasil menyulap kampung dengan kepadatan penduduk tingkat tinggi ini, menjadi kampung serasa “surga” dengan hiasan bunga beraneka warna di kiri-kanan jalan. Aneka bunga inipula yang menjadikan udara di Gundih berasa tak seperti di Surabaya yang gerah nan panas.

Tembok maupun pagar warga yang dulunya kumuh penuh lumut, kini disulap hingga tak menyisakan ruang kosong. Semuanya penuh bunga, mulai anggrek hingga tanaman berbuah seperti jambu dan anggur. Jikapun ada tembok kosong, warga mempercantiknya dengan lukisan penuh warna.

Tembok pembatas rel yang ada di depan kampung itu misalnya, dulu penuh tumpukan sampah. Warna tembokpun kumuh kehitaman bekas sisa pembakaran sampah. Kini untuk mempercantiknya tumpukan sampah sudah berganti dengan tumpukan pot penuh bunga. “Tembok sengaja kami penuhi lukisan bunga dari cat. Kalau temboknya bersih, orang segan buang sampah di bawahnya,” kata Sugiarto, Fasilitator lingkungan setempat.

Pria kelahiran Bangkalan 21 Juli 1963 yang juga bekas ketua RT 07 RW 10 ini mengaku, untuk lebih mempercantik lingkungan, bersama warga dirinya juga menghias paving jalan masuk kampungnya dengan penuh warna dengan dominasi hijau berpadu kuning.

Di Surabaya, kampung se-indah Gundih dengan aneka ragam bunga dan cat paving jalan memang sudah banyak. Hanya saja, Gundih tetap berbeda. Ini ditunjang kreatifitas warganya. “Di sini banyak warga kreatif menciptakan inovasi lingkungan,” kata Sugiarto.

Sugiarto menuturkan, perubahan Gundih dari kampung preman menjadi kampung “bunga”, bermula ketika dirinya diangkat menjadi ketua RT 07 pada tahun 2007 lalu. Saat itu, Sugiarto sengaja membuat nota kesepakatan dengan warga yang berisi 11 item, diantaranya memberikan batasan maksimal 10 menit bagi parkir sepeda motor, becak atau gerobak di sepanjang gang kampung. “Kecuali tamu, kalau warga memarkir sepeda di gang lebih dari 10 menit ya kita gembosi,” terang dia.

Dan kini, jalanan kampungpun kosong, tidak ada lagi sepeda, gerobak maupun becak di gang itu, jemuran pakaian juga tidak ada. “Warga akhirnya sadar sendiri dan mengisi kekosongan tempat itu untuk menanam bunga,” kata dia.

Saat itu, tiap sepekan sekali kususnya hari minggu, di masing-masing dasawisma juga dilakukan proses pengolahan sampah. Seluruh sampah rumah tangga dipilah oleh anggota dasawisma. Lantas ditimbang dan dijual ke pengepul sampah. Ada juga sampah yang sengaja dibuat aneka kerajinan.

Dengan kerajinan sampah ini, warga Gundih kini memiliki beragam inovasi diantaranya tas dari sampah, baju dari sampah serta aneka hiasan dari sampah yang lantas dijual dengan beragam harga.

Selain hebat dengan pengelolaan sampah terpadunya, warga Gundih juga mampu memanfaatkan sisa-sisa air buangan dari kegiatan mandi cuci dan kakus (MCK). Bahkan, Sugiarto mengklaim saat ini tak ada setetespun air buangan dari warga yang masuk ke dalam sungai yang nantinya dibuang ke laut.

Seluruh air buangan dari kamar mandi disalurkan warga untuk masuk ke dalam sebuah tandon besar air yang ada di bawah jalanan kampung. Air sisa di dalam tandonan ini lantas dipompa untuk dimasukkan ke dalam tiga pipa berdiameter 15 cm dengan panjang 1,5 meter.

Di masing-masing pipa diberikan alat penyaring sederhana berupa batu, pasir, ijok dan arang batok. Dan hasil dari penyaringan lantas dipompa ke dalam sebuah tandon besar berkapasitas satu meter kubik air yang diletakkan di atas balai RT setempat.

Dari atas tandon inilah, air lantas disalurkan kembali melalui pipa-pipa keseluruh rumah untuk dijadikan air bersih guna menyiram tanaman dan mencuci motor. “Sementara hanya untuk siram tanaman dan nyuci motor, kalau untuk mandi kami masih takut karena ini najis atau tidak kami belum tahu,” tuturnya.

Yang pasti, air bekas ini terbukti mampu membuat tanaman warga lebih subur ketimbang disiram menggunakan air PDAM, apalagi PDAM mengandung kaporit dan zat pembersih air lainnya.

Dengan keberhasilan ini, kampung Gundih kususnya di RW 10, tak hanya mampu meraih predikat sebagai kampung terbersih se-Surabaya, melainkan juga menjadi kampung wisata yang hampir tiap sepekan sekali selalu dikunjungi tamu baik dari luar kota maupun luar negeri untuk belajar kebersihan di kampung bekas para preman ini.

Untuk para tamu, RW setempat juga menyediakan dua paket kunjungan yaitu kunjungan sehari, dan kunjungan menginap. Untuk kunjungan sehari, para tamu tidak dipungut biaya, hanya secara sukarela diminta untuk membeli salah satu produk kerajinan dari kampung itu.

Dalam kunjungan sehari ini, pengelola kampung akan memberikan penjelasan seputar kegiatan kebersihan serta tips-tips mengelola kampung menjadi bersih. Sedangkan untuk kunjungan menginap, pengurus kampung mematok Rp100 ribu perorang perhari dengan dua kali makan dan diinapkan di salah satu rumah warga. (fik)

Teks Foto :
– Salah satu gang di Kampung Gundih.
Foto : Taufik suarasurabaya.net

Surabaya
Senin, 25 November 2024
33o
Kurs