Tri Rismaharini Walikota Surabaya terus menjadi pembicaran publik. Isu kemunduran dirinya dari walikota, menjadikan Risma kini terus menjadi sorotan publik. Bahkan beragam diskusi juga terus bermunculan. Salah satunya diskusi publik yang digelar beragam aktivis asal Surabaya pada Rabu (26/2/2014).
Bertajuk “di balik fenomena Risma,” diskusi yang digelar komunitas Save Surabaya ini menghadirkan tiga pembicara yaitu Wayan Titip Sulaksana, pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya; lantas Adri Ariyanto, pengajar sosiologi Universitas Islam Negeri Surabaya; kemudian Maspurwadi pengamat kebijakan Surabaya.
Wayan Titip, membuka diskusi dengan pengalamannya selama mengenal Tri Risma. Menurut Wayan, Risma merupakan satu-satunya walikota Surabaya yang sukses menjaga beragam aset milik pemerintah.
“Walikota lain bisanya menjual aset, tapi Risma mampu menjaga aset. Salah satunya menjaga KBS (Kebun Binatang Surabaya),” kata Wayan Titip. Aset KBS, kata Wayan, selain berupa hewan juga tanah seluas 15,5 hektar yang harga permeter perseginya saat ini telah mencapai Rp5 juta.
Menurut Wayan, isu mundurnya Risma dimulai dari gagalnya proyek tol tengah kota Surabaya. Sejak saat itu, Risma sering mendapatkan tekanan khususnya dari pemerintah Jawa Timur dan pemerintah pusat. Puncak keresahan Risma adalah terpilihnya Wisnu Sakti Buana menjadi wakil walikota Surabaya. “Tol tengah gagal, lantas ada upaya pemakzulan, padahal wakilnya ini dulu yang ikut berusaha memakzulkan,” kata dia.
Wayan mengakui, Risma adalah satu-satunya walikota yang paling suka blusukan dan tidak canggung bersentuhan dengan rakyat. Bahkan Risma dinilai lebih dekat dengan rakyatnya ketimbang Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta. Risma, tak canggung ketika ikut menyapu jalan, juga menggendong pengemis. Bahkan Risma suka terjun langsung ke lokasi banjir meskipun dini hari.
“Sayang, Risma ibarat panas sehari langsung jadi kacang lupa pada kulitnya. Kalau konflik internal di PDI-P ya harus diselesaikan di internal, jangan ke mana-mana apalagi curhat ke Priyo (Priyo Budi Santoso, Ketua DPR), ndak etis blas (sama sekali ndak etis),” kata Wayan.
Wayan menilai, apa yang saat ini dilakukan Risma hanyalah cek sound untuk melihat dukungan riil dari masyarakat. Dukungan riil ini, minimal bisa menguatkan Risma untuk maju kembali jadi walikota dari jalur independen, atau minimal sebagai bahan maju sebagai wakil presiden pada pemilu 2014 mendatang.
Andri Ariyanto, pengajar Sosiologi di UIN Surabaya mengatakan, fenomena blusukan Tri Rismaharini sebenarnya bukanlah barang baru. Saat ini, kata dia, hampir seluruh kepala daerah yang akan kembali mencalonkan diri pasti selalu mencoba untuk menyentuh rakyat secara langsung.
Sayang, sebagai walikota Surabaya, Risma memiliki sejumlah masalah yang cukup pelik sehingga menjadikan emosinya tidak stabil. Masalah yang dihadapi diantaranya adalah ledakan penduduk Surabaya yang cukup mencengangkan. Bahkan tahun 2020 mendatang, penduduk Surabaya diprediksi akan mencapai 5 juta orang.
Selain itu, problem kemacetan juga menjadi masalah lanjutan. Jumlah jalan di Surabaya saat ini hanya 2 ribu kilometer dengan jumlah kendaraan pribadi telah mencapai 4 juta unit. “Artinya, jika dijajar kendaraan pribadi sudah mencapai 10 ribu kilometer, lebih panjang dari jumlah jalan yang ada. Ini belum ditambah sepeda motor serta truk,” kata dia.
Maspurwadi, Pengamat Kebijakan Publik Surabaya menyarankan Tri Risma bisa menahan diri untuk tak gampang mempolitisasi apapun yang menimpa padanya. Proses pemilihan wakil walikota misalnya, Risma harusnya membawa kasus ini ke PTUN atau ke Polisi bukan malah membawa masalah ini ke ranah politik praktis.
Purwadi mengatakan, Risma harusnya lebih fokus pada pengelolaan anggaran. “Di Surabaya ini, penyerapan anggaran masih rendah baru 60 persen. Padahal dari 100 persen anggaran, 50 persen merupakan gaji pegawai,” kata Purwadi. (fik)
Teks Foto :
– Diskusi publik di balik fenomena Risma.
Foto : Taufik suarasurabaya.net