Anas Urbaningrum Mantan Ketua Umum Partai Demokrat dan Nazaruddin mantan bendahara umum partai tersebut Muhammad saling bantah dalam sidang perkara perkara dugaan korupsi proyek Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang dengan terdakwa mantan Direktur Operasi I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mokhamad Noor.
“Dari Hambalang dan proyek lain juga dikumpulkan ditaruh di kamar untuk menjadi ketua umum partai (Demokrat) dan nantinya jadi presiden,” kata Nazaruddin dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (13/5/2014) seperti dilaporkan Antara.
“Di kamar siapa?” tanya anggota majelis hakim Anwar.
“Bos saya, nanti lihat saja ada pembagian bagi-bagi uang saat kongres, saya sebagai bendarahara mencatat, mengantar uang,” jawab Nazaruddin.
“Apakah itu benar saksi Anas?” tanya hakim Anwar.
“Alhamdulilah tidak benar, Ahlus fitnah wal jamaah (fitnah bersama-sama),” jawab Anas yang juga menjadi saksi dalam sidang tersebut bersama dengan Andi Alifian Mallarangeng mantan menteri Pemuda dan Olahraga.
Namun Nazaruddin dengan yakin menjelaskan bahwa Anas memang memiliki banyak perusahaan yang dijadikan kantong bisnis, misalnya adalah PT Dutasari Citra Laras dengan direktur utamanya Mahfud Suroso dan Mindo Rosalina Manulang yang membawahi Permai Grup.
“Kantong bos itu memang bahasa bos saya, Permai grup adalah salah satu kantong bisnis bos saya. Posisi saya sebagai bendahara yang menawahi bisnis-bisnis mas Anas. Istilahnya ke saya adalah kalau dibuat satu keranjang nanti keranjangnya jatuh maka pecah semua, dan saya menjadi bendahara bisnis, bendaraha umum dan bendahara fraksi,” terang Nazaruddin.
“Saya tidak tahu kalau Nazar bercerita detail, saya kira itu yang dialaminya, saya tidak tahu,” jawab Anas.
“Kalau mengenai kantong-kantong bisnis?” tanya hakim Anwar.
“Tentang kantong bisnis sudah pernah disebut, kalau kantong saya punya kantong kiri dan kantong kanan,” jawab Anas.
Selain saling bantah mengenai kantong bisnis, Anas dan Nazaruddin juga saling bantah mengenai peran keduanya dalam proyek Hambalang.
“Proyek Hambalang yang saya tahu yang mulia, sejak awal di-setting sama bos saya,” ungkap Nazar.
Ia mengaku bertemu 2-3 kali dengan Teuku Bagus yang menyampaikan permohonan untuk proyek Hambalang dan gedung DPR.
“Itu yang menyampaikan Machfud Suroso, waktu itu terdakwa ada waktu itu permintaan untuk proyek Hambalang, gedung DPR dan proyek Priok tapi yang disetujui bos saya hanya Hambalang dan DPR. Hambalang nilainya Rp2,5 triliun sedangkan DPR Rp1,8 triliun. Permintaannya sekitar Juli 2009 di Pacific Place yang dihadiri Machfud Suroso, Munadi Herlambang, Teuku Bagus dan bos saya,” jelas Nazaruddin.
Selanjutnya menurut Nazar, Anas akan mengecek dulu keberadaan proyek Hambalang dan ternyata proyek Hambalang juga mengalami hambatan sertifikat sehingga Anas memerintahkan Ignatius Mulyono anggota Komisi II dari fraksi Partai Demokrat untuk mengurusnya ke Badan Pertanahan Nasional yang saat itu dipimpin oleh Joyo Winoto.
“Ketua fraksi minta perintahkan Ignatius Mulyono di ruang ketua fraksi untuk memanggil kepala BPN. Pak Ignatius menelepon di hadapan ketua fraksi dan saya, ketua fraksinya Mas Anas,” ungkap Nazar.
Surat keputusan tanah Hambalang itu menurut Nazar akhirnya diserahkan ke ruangan Anas lalu diberikan ke Wafid Muharam Sekretaris Kemenpora.
“Tidak ada pertemuan yang dimaksud, saya duga yang diceritakan adalah pengalamannya sendiri,” sanggah Anas yang disambut dengan tertawa kecil dari Nazaruddin.
Anas juga membantah mendapatkan keuntungan sebesar Rp2,2 miliar dari proyek Hambalang yang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Nazaruddin disebut diperoleh dari Direktur Utama PT MSONS Capital Munadi Herlambang.
“Saya tidak pernah tahu, tidak pernah minta, tidak pernah terima uang Rp2,2 miliar, saya tidak pernah berhubungan dengan Munadi Herlambang,” ungkap Anas.
“Yang mulia, makin banyak dia tidak tahu semakin banyak dia tahu, saya hanya menjalankan perintah saja. Saya hanya bendahara frakasi dan bendahara umum. Bos saya memutuskan siapa yang dapat proyek Hambalang,” tegas Nazaruddin.
“Hambalang kan punya Kemenpora kok bisa dapat Adhi Karya?” tanya hakim Anwar.
“Untuk lebih jelas bisa tanya ke Wafid, Wafid untuk memenangkan PT DGI (Duta Graha Indah) atau PT Adhi Karya tunggu perintah bos saya, tapi Pak Andi (Mallarangeng) tidak tahu, kalau tahu saya yang setting maka proyek itu tidak akan ke Adhi Karya,” jawab Nazar.
“Betul pak Anas?” tanya hakim Anwar.
“Alhamdulilah tidak benar,” jawab Anas.
Teuku Bagus dalam perkara ini didakwa dengan pasal alternatif yaitu pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. (ant/dwi)