Ranu Pane yang menjadi ikon danau di lereng Gunung Semeru selain Ranu Kumbolo Dan Ranu Regulo, diperkirakan dalam beberapa tahun ke depan akan hilang. Danau eksotik itu akan tinggal sejarah, jika abrasi dan pendangkalan sedimentasi Ranu Pane yang sampai saat ini semakin parah tidak segera dihentikan.
Pemicunya, kata Andi Iskandar Peneliti JICA (Japan International Cooperation Agency) kepada Sentral FM, Senin (27/10/2014), ada dua sebab. Penyebab pertama adalah adanya tanaman empasit yang bernama salvinia molusca yang terus berkembang di Ranu Pane. “Tanaman ini bukanlah jenis tanaman endemik Ranu Pane. Namun, tanaman yang sebenarnya endemik dari Amerika Selatan ini, sengaja ada yang membawa ke sana. Karena perkembangannya sangat cepat, dalam waktu cepat tanama ini pun menjadi penyebab pendangkalan sedimentasi Ranu Pane,” katanya.
Untuk persoalan ini, berbagai pihak, termasuk masyarakat Ranu Pane telah melakukan berbagai kegiatan pembersihan secara rutin. “Sejak Tahun 2012 pembersihan terus dilakukan. Bahkan, ketika hampir 80 persen permukaan Ranu Pane tertutup tanaman salvinia molusca, pembersihan gencar dilakukan. Sampai-sampai pembersihan sempat digelar 48 hari berturut-turut,” paparnya.
Masalah yang kedua, masih kata Andi Iskandar yang akrab di sapa Andi Gondrong ini, adalah masalah pokok berupa pola tanam pertanian yang dikembangkan warga Desa Ranu Pane sendiri. Sistem pertanian yang ada di Ranu Pane, dulunya menggunakan pola terasering. Kalau di Bali seperti Subak. Dengan pola tanam ini, dapat menghambat laju lumpur yang masuk ke danau.
“Tapi karena pertumbuhan jumlah pendudduk, mereka butuh perluasan lahan yang bertambah, pola terasering pun dirubah menjadi vertikal. Jadi aliran air yang membawa lumpur ketika hujan, langsung dari atas ke bawah hingga masuk ke Ranu Pane. Lumpur-lumpur yang terdiri dari humus atau lapisan paling atas tanah dari lahan di bukit dengan kemiringan 45 derajat inilah, yang menjadi sedimen pendangkalan Ranu Pane,” katanya.
Parahnya lagi, Ranu Pane tidak memiliki outlet untuk mengalirkan luapan air bercampur lumpur agar tidak langsung masuk ke danau. “Jadi, lumpur-lumpur itu, semuanya menumpuk di Ranu Pane dan menjadi pemicu pendangkalan. Apalagi, Ranu Pane bentuknya lembah, seperti mangkok. Sehingga seluruh lahan pertanian di Ranu Pane masuknya ke danau itu dan memicu terjadinya pendangkalan,” urainya.
Dari penelitian JICA, jika dulunya Ranu Pane memiliki luas sekitar 7 hektar, sekarang hanya tersisa 4 hektar sampai 5 hektar saja. Average kedalamannya, jika dulu kurang lebih 10 meter sampai 20 meter, saat ini dari hasil pengukuran terakhir Tahun 2012 lalu yang dilakukan dengan sampel di 9 titik Ranu Pane, rata-rata hanya 6,5 meter saja.
Yang membuat Andi Gondrong dan para peneliti JICA lainnya prihatin, masyarakat desa yang seharusnya memiliki kearifan lokal menyangkut pemeliharaan lingkungan, ternyata mengabaikannya.(her/edy)