Saat ini sudah ada sekitar 90 persen produsen mainan yang sudah antre untuk uji SNI. Tapi produksi dalam negri ini belum banyak yang ber-SNI.
Said Sutomo Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Jawa Timur pada Radio Suara Surabaya, Jumat (11/4/2014) mengatakan, mainan yang tidak ber-SNI dari sisi bahannya seperti melamin memang berbahaya. Pihaknya berharap SNI juga ada standarisasi dari bahan, keamanan dan pengemasannya.
“Dari YLKI pernah melakukan penelitian untuk mainan anak-anak di Jatim. Memang banyak yang tidak ber-SNI, tujuannya untuk aman, tidak mudah rusak dan membahayakan,” kata dia.
Dari sisi kesehatan, lanjut dia, YLKI juga sudah meninjau karena anak-anak sering membawa mainannya saat tidur, dimasukkan dalam mulut dan lain-lain.
Bagi konsumen keuntungan dengan kebijakan mainan ber-SNI, kata dia, adanya kepastian keamanan dari mainan. Selain itu juga bisa melakukan class action ke produsen.
Lalu apakah pemerintah termasuk lambat dalam mengeluarkan kebijakan ini? Said menilai memang terlambat karena kebijakan ini sudah lama ada tapi masih menunggu regulasi. Selain itu langkah-langkah preventif juga kurang.” Apalagi ini dibenturkan dengan kebiasaan masyarakat yang lebih suka barang murah daripada barang ber-SNI,” ujar dia.
Sementara itu, bagaimana nasib produsen dalam negeri yang belum ber-SNI, kata Said, mereka perlu pendampingan untuk dibantu dan dipermudah pembuatan serta pengurusan label SNI. Jangan sampai jika penerapan SNI nanti diberlakukan malah membuat produsen gulung tikar.
“Untuk pelabelan jangan hanya stiker tapi cetakan yang menyatu di dalam produknya. Kalau bungkus dan stiker kan mudah dipalsu. Masyarakat juga harus aktif menanyakan karena itu hak konsumen dan harus dijawab,” katanya. (dwi/rst)