
Kugali hatiku dengan linggis Alif-Mu
Hingga lahir mata air, jadi sumur, jadi sungai, jadi laut, jadi samudera
Dengan gelombang, mengerang menyebut Alif-Mu
Hompimpa hidupku
Hompimpa Matiku
Hompimpa Nasibku
Puisi Dzikir ini merupakan buah kontemplasi ZAWAWI IMRON 26 tahun lalu, namun masih membuat bulu kuduk merinding ketika Si Clurit Emas ini membacakannya di depan ratusan warga pengungsi korban lumpur di Pasar Baru Porong, Kamis (23/08).
“Saya tidak ingin mengajari mereka (korban lumpur-Red) tentang penderitaan. Saya yakin mereka lebih pandai. Untuk itu saya harus berguru pada mereka. Puisi yang saya buat tahun 1981 ini mungkin tidak sampai seperti setetes embun di padang pasir. Saya hanya ingin mengajak semuanya agar menyelesaikan masalah ini dengan cinta dan persaudaraan,” kata penyair dari Madura ini.
Ia melihat ada hidup manusia yang dipermainkan di sini. Sama seperti larik-larik puisi Dzikirnya, ia menggambarkan nasib pengungsi di Pasar Baru Porong sedang dipermainkan. Tidak ada kejelasan dan digantungkan.
ZAWAWI menolak berkomentar lebih jauh tentang realitas yang ada di Porong. “Saya lebih senang ‘bermain’ di ranah ideal. Bencana ini menimbulkan instrospeksi pada kita tentang kehadiran Tuhan dan kesedihan,” ujarnya.
Ia berharap mereka yang bersedih akibat bencana ini bisa bangkit dengan cinta di bawah tuntunan Tuhan. Ia meyakini di ujung kesedihan ini ada pintu kebahagiaan yang tak pernah disangka-sangka. Ini adalah rahasia Tuhan, ungkap dia.
Untuk itu ia meminta setiap mereka yang bersedih akibat bencana ini membuka hati dan menimbulkan cinta untuk Tuhan dan orang lain. Juga tidak mencaci maki orang lain untuk menemukan solusi. “Simpati dan empati bagi setiap orang, baik korban, pemerintah, pengusaha, masyarakat umum. Ini kuncinya,” terangnya singkat.(edy)
Teks Foto :
– ZAWAWI IMRON
Foto : EDDY suarasurabaya.net