Pengalaman pertama bertarawih di masjid terbesar di Roma, sangat menyenangkan dan mengesankan.
Senang, karena udaranya adem. Suhu udara di ibu kota Italia menjelang akhir musim semi sangat bersahabat, di atas 10 derajat Celsius.
Mengesankan, karena di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Katolik dengan gereja yang mudah temui di setiap sudut kota, ada masjid yang sangat besar untuk umat Islam beribadah.
Itulah Moschea di Roma atau Masjid Roma yang resmi berdiri pada bulan Juni 1995.
Masjid yang terletak di atas lahan sekitar 30.000 meter persegi itu dibangun atas sumbangan 23 negara, termasuk Indonesia, Brunei, dan Malaysia.
Selain itu, ada Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Bangladesh, Mesir, Uni Emirat Arab, Yordania, Irak, Kuwait, Libya, Maroko, Mauritania, Oman, Pakistan, Qatar, Senegal, Sudan, Tunisia, dan Yaman.
Imam besar Masjid Roma Salah Ramadan yang ditemui ANTARA di Roma, Italia, sebelum bertarawih, menceritakan Raja Faisal dan 23 negara memberikan sumbangan sebesar 50 juta dolar AS untuk membangun fasilitas ibadah dan belajar bagi umat Islam di Italia itu.
“Sumbangan yang cukup besar pada waktu itu untuk membangun masjid dan pusat pembelajaran Islam (Islamic Centre) ini,” kata Salah yang sangat fasih berbahasa Inggris, di samping Arab dan Italia.
Berkembang
Diakuinya bahwa jumlah umat Islam di Italia tidak sebanyak di London (Inggris). Total muslim di negara yang dipimpin PM Paolo Gentiloni itu sekitar 1,5 juta orang, di antaranya lebih dari 100.000 orang asli Italia yang menganut agama Islam.
Kendati demikian, menurut Salah, Masjid Roma adalah masjid terbesar di Uni Eropa dengan segala fasilitasnya.
Tidak hanya masjid besar yang terletak di lantai dua yang bisa menampung lebih dari 3.000 orang dan dibuka hanya pada salat Jumat, bulan puasa, dan Lebaran atau Lebaran Haji, tetapi ada juga masjid kecil, di lantai 1 untuk digunakan sehari-hari yang bisa menampung sekitar 100 orang.
Islam cukup berkembang di Italia. “Tiap minggu ada saja yang berpindah agama ke Islam, 1 hingga 2 orang. Alhamdulillah,” katanya.
Mereka yang baru masuk Islam biasanya orang asli Italia atau pendatang dari negara Eropa lainnya.
Penduduk muslim lainnya di Italia sebagian besar adalah pendatang negara muslim, seperti Mesir, Maroko, Tunisia, Bangladesh, Pakistan, dan negara lain di Afrika.
Merekalah yang biasanya memenuhi Masjid Roma untuk tidak hanya beribadah, tetapi juga mengaji dan menghafal Quran.
Pada bulan puasa, pihaknya mengadakan lomba hafiz Quran, di samping berbuka puasa bersama, kata Salah.
Tarawih
Bertarawih sendiri baru dimulai sekitar pukul 23.00 waktu setempat atau sekitar pukul 04.00 WIB. Pada musim semi menjelang musim panas, matahari di Italia baru tenggelam pukul 20.30.
Sebagian besar dari mereka berdatangan sebelum salat Isya dimulai pukul 22.30.
Meski belum saling kenal sebelumnya, perempuan tempat Antara bergabung sangat ramah.
Mereka menyapa dengan ucapan “assalamualaikum”, kemudian mempersilakan masuk dalam saf atau barisan perempuan yang sebagian besar berparas khas Timur Tengah dan Afrika.
Pada bulan puasa, menurut Imam Masjid Roma yang juga lulusan Universitas Al Azhar-Mesir itu, mereka yang datang bisa mencapai 1.000 s.d. 3.000 orang.
Namun, pada saat tarawih pertama, Antara hanya melihat yang menunaikan rukun Islam kedua tidak lebih dari 200 orang. Makin menjelang akhir bulan puasa, mereka yang berjamaah terus bertambah, kata Salah meyakinkan.
Hal senada dikemukan seorang warganegara Indonesia yang ikut bertarawih pertama di masjid yang juga menjadi pusat pengajaran Islam di Italia itu.
Ini mungkin belum banyak (warga muslim) yang tahu, ada tarawih pertama. Biasanya makin akhir bulan puasa masjid makin penuh, kata Tari, WNI yang sudah 16 tahun tinggal dan bekerja di Roma.
Bahkan, lanjut dia, pada Lebaran, jumlahnya membeludak, masjid penuh. “Salat Id diselenggarakan sampai tiga kali,” ucap perempuan setengah baya yang bekerja sebagai pengasuh anak itu.
Menurut Tari, persaudaraan sesama muslim di Roma sangat kuat. Apalagi, mereka menjadi minoritas di negeri yang dekat sekali dengan pusat kepimpinan agama Katolik di Vatikan.
Ketika bertarawih dimulai, Salah Ramadan tidak menjadi imam. Profesor dari Al-Azhar itu mengambil bagian sebagai pemberi ceramah. Dia melakukannya setelah menyelesaikan empat rakaat tarawih.
Pada ceramah yang disampaikan dalam bahasa Arab itu, dia mengingatkan umat Islam bahwa bulan puasa adalah bulan pengampunan.
Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan mata dan mulut dari pandangan dan ucapan yang tidak ada manfaatnya, katanya. Salah tidak hanya fasih berbahasa Arab, tetapi juga bahasa Inggris dan Italia.
Sama dengan sebagian besar masjid di Indonesia, Tarawih di Masjid Roma dilakukan 11 rakaat dengan delapan rakaat tarawih yang dilakukan dua, dua, dan tiga witir ditambah kunut.
Surah Albaqarah dilantunkan imam sepanjang Tarawih. Pada witir, imam membacakan surat Al A`la, kemudian Alzalzalah dan ditutup Alikhlas.
Suara merdu dan intonasi yang pas saat imam melantunkan ayat-ayat suci Quran sempat membuat jemaah terisak mengingat ada surat yang menerangkan tentang hari kiamat (Alzalzalah) dan tentang pentingnya bekal untuk kehidupan akhirat yang kekal (Al A`la).
Kurang lebih 1 jam, Tarawih selesai, melewati tengah malam.
Usai berdoa, tiba-tiba seorang perempuan keturunan Arab yang duduk di sebelah, menyorongkan tangan bersalaman, dan menempelkan pipi kanan dan kirinya seakan sudah kenal lama.
“Syukron (terima kasih),” ucap saya sambil memeluk perempuan tua berwajah Arab yang ramah itu. Sungguh tidak menyangka mendapat sambutan hangat seperti itu dari orang yang baru kenal tidak lebih dari 2 jam.
Benar, kata Tari, ukhuwah islamiah di Roma sangat kuat. Tidak peduli beda bangsa, beda bahasa, bila sudah ketemu sesama muslim, mereka adalah saudara dalam iman.(ant/ipg)