September 1983, tiga bulan setelah radio swasta yang nyeleneh itu berdiri, Errol Jonathans memulai karir gandanya: sebagai wartawan tulis untuk Pos Kota dan sebagai broadcaster atau penyiar di Suara Surabaya. Nyeleneh, karena radio yang memulai siaran bertepatan momen Gerhana Matahari Total Juni tahun itu mengudara di saluran frequency modulation (FM). Padahal kebanyakan radio populer saat itu ada di saluran amplitudo modulation (AM).
Pagi sampai petang Errol melakukan peliputan dan menuliskan repotasenya untuk media cetak Pos Kota. Petang sampai dini hari dia siarkan beragam informasi dan berita seputar Surabaya dan nasional untuk Suara Surabaya. Karir ganda itu dia tekuni setelah dirinya menjawab tantangan dari Almarhum Soetojo Soekomiharjo, pendiri Suara Surabaya yang ingin “radio nyeleneh” itu tidak berjalan di atas jalur yang dipilih kebanyakan radio saat itu.
Kebanyakan radio di masa itu mengedepankan hiburan. Musik, drama, dan hal-hal yang jauh dari berita dengan kaidah jurnalistik. Errol muda yang jebolan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikos AWS) pun tertantang ketika Pak Toyo (begitu kru Radio SS memanggil dan mengenang Almarhum Soetojo Soekomiharjo) ingin Suara Surabaya menjadi radio seperti media massa lainnya. “Yang ada beritanya.”
Setahun bekerja di Suara Surabaya, kepiawaian Errol membuatnya dipilih menjadi Kepala Bagian Siaran di Suara Surabaya. Tapi perjalanan Suara Surabaya pada dua tahun pertama berdiri itu sangatlah terjal. Dia sampaikan itu kepada Adit Jufriansyah, host Podcast Suara Surabaya (PODSS), saat berbincang di Episode ke-6, Season ke-3 berjudul Sang Raja Terakhir. Tidak ada iklan yang masuk.
Pak Toyo, Errol, bersama para broadcaster Suara Surabaya harus mau berpuasa gaji selama itu. Perjuangan belum berakhir dalam dua tahun pertama itu. Di tahun kedua, meski sudah ada beberapa iklan yang masuk, mereka masih harus pengertian satu sama lain. Para kru harus bergiliran menerima gaji. Errol sendiri, yang masih merangkap di Pos Kota hingga tiga tahun pertama bekerja di Suara Surabaya lebih sering mengalah.
Wahyu Widodo Direktur Bisnis Suara Surabaya Media yang juga salah satu putra Pak Toyo mengisahkan bagaimana ngerinya para kru Suara Surabaya di masa itu untuk membangun integritas radio berita dan jurnalisme yang hendak ditegakkan setinggi-tingginya di Suara Surabaya sampai sekarang. “Kami saat itu ada di kolam yang keruh, berjuang sendirian di Surabaya,” katanya.
Reporter Radio Suara Surabaya bahkan pernah diboikot sejumlah institusi pemerintahan di awal-awal radio itu berdiri. Tidak diizinkan meliput karena pada saat itu masih sangat jarang ada seorang jurnalis radio. Tapi Pak Toyo dan Errol terus memikirkan cara, bahkan cara-cara tersulit yang bisa dilakukan untuk membuat Suara Surabaya dipandang sebagai media massa berbasis jurnalistik.
“Saya kira itulah yang sampai sekarang saya ingat. Mas Errol itu memegang teguh prinsip jurnalistik di Suara Surabaya ini. Mas Errol dan Pak Toyo membangun prinsip itu di tengah rumpun radio yang identik entertainment,” ujarnya. “Dan itu yang terus beliau jaga. Kalau itu disepelekan, apa yang puluhan tahun diperjuangkan akan runtuh.”
Pria yang akrab disapa Doddy itu menjadi saksi, bagaimana kru radio, baik reporter maupun penyiar, yang mengawali Suara Surabaya benar-benar memegang teguh prinsip-prinsip integritas jurnalistik itu. Dalam prosesnya di internal, mereka bahkan berseteru hebat ketika menentukan strategi jurnalistik paling ideal.
“Dulu kalau beda pendapat soal topik terkait jurnalistik, mereka itu sampai bertengkar juga pernah. Banting keyboard itu sering sekali. Misalnya, reporter enggak dikasih slot reportase, datang ke ruang siaran debat. Marah karena pada waktu itu dia ada narasumber penting. Terus keyboard dibanting,” ujarnya.
Karena prinsip jurnalistik dan integritas yang sangat kuat itulah, dalam perjalanannya membangun radio yang awalnya dianggap nyeleneh itu, Errol Jonathans dan Radio Suara Surabaya mendapatkan berbagai penghargaan, dari dalam dan luar negeri.
Salah satunya, ketika Errol Jonathans Direktur Utama Suara Surabaya Media menerima penghargaan dari Dewan Pers berupa Sertifikat Kompetensi dan Kartu Wartawan Utama pada Juli 2017 silam. Saat itu dia menyampaikan sesuatu yang akan terus dikenang seluruh kru Suara Surabaya.
“Buat saya, jalan ke depan tetap masih panjang, never ending road. Penghargaan yang saya syukuri ini hanya penanda tahapan kesetiaan profesi dan amunisi karya-karya di masa depan. Semoga ini semua bisa menyemangati kawan-kawan lain untuk terus berkarya tanpa hitungan dan pantang stagnasi,” kata Errol.
Tapi Errol Jonathans bukan hanya milik Suara Surabaya. Mendiang adalah tokoh inspiratif milik semua orang. Selain menjadi Direktur Utama Suara Surabaya Media, dia dikenal luas sebagai seorang guru, seorang motivator, seorang pengajar yang baik.
“Beliau adalah guru yang terbaik. Tidak hanya bagi kami di Suara Surabaya, tapi juga untuk mahasiswanya. Seringkali banyak yang bilang, beliau adalah guru paling favorit. Karena metode pengajarannya sangat mudah dipahami, presentasinya selalu keren,” ujar Doddy.
Kini, menjelang usia ke-38 tahun Suara Surabaya Media, Errol Jonathans berpulang. Perjuangannya membangun Suara Surabaya sebagai media yang kini tidak lagi hanya menjadi sekadar radio akan terus dilanjutkan oleh semua kru Suara Surabaya Media. Karena perjalanan ini tidak akan pernah berakhir. Never Ending Road.(den)