Jumat, 22 November 2024
Reuni Cinta Suara Surabaya

Mengenang Periode Awal Suara Surabaya

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Alumni karyawan angkatan tahun 1983-2000 berfoto bersama kru Radio Suara Surabaya, Sabtu (14/1/2017). Foto: Totok suarasurabaya.net

Sejumlah 48 alumni karyawan Radio Suara Surabaya angkatan tahun 1983-2000 menghadiri Reuni Cinta Suara Surabaya di Kampoeng Media Suara Surabaya, Sabtu (14/1/2017). Mereka yang terlibat pada tahun-tahun awal berdirinya Radio Suara Surabaya mengisahkan kembali pengalaman mereka membangun radio ini.

Patrick Jonathans mantan penyiar Suara Surabaya yang juga adik Errol Jonathans Direktur Utama Suara Surabaya Media menceritakan, pada saat itu, konsep siaran Suara Surabaya sudah radio berita, tapi regulasi menyebutkan hanya RRI satu-satunya radio yang boleh menyiarkan berita.

“Itu sebabnya kami membuat istilah yang lebih ringan untuk SS menjadi radio informasi. Beritanya tidak disajikan secara berurutan, tapi diselingi dengan lagu,” katanya.

Denny Reksa mantan penyiar dan reporter Suara Surabaya lainnya menambahkan, strategi membahas lalu lintas, donor darah dan hal-hal humanis menjadikan Suara Surabaya berhasil memiliki ratusan juta reporter yang tidak lain adalah para pendengarnya.

“Dari awal Almarhum Pak Tojo (Soetojo Soekomihardjo, pendiri Suara Surabaya) inginnya seperti itu dan sekarang sudah gol. Saya salut dengan kawan-kawan yang sekarang, bisa meneruskan. Sekarang masyarakat kalau ada apa-apa lapornya bukan ke polisi tapi ke Suara Surabaya dulu,” ujarnya.

Lain lagi dengan awal mula telepon interaktif yang hingga kini menjadi ruh di Radio Suara Surabaya. Melalui tulisannya yang dihimpun panitia reuni, Eddy Surjanto menceritakan dengan lugas. “Kenangan yang masih saya ingat juga dengan Mbak Ratna Syamsiar yang waktu itu kena piket siaran hari Sabtu, yang akhirnya terjebak hujan besar dan banjir. Maklum, studio di atas bukit sedangkan di bawah langganan banjir. Kami tidak bisa pulang. Akhirnya kami bersiaran dan atas arahan Mas Errol kami membuka interaktif dengan pendengar untuk informasi jalan dan banjir. Ramailah siaran kami. Saya dan Mbak Ratna bersiaran, Denny Siregar bagian menerima telepon (gate kepper pertama Suara Surabaya). Sampai jam duabelas malam waktu itu masih ramai. Mungkin waktu itulah interaktif mulai ramai, sampai sekarang,” tulisnya.

Dalam kumpulan tulisan yang akan dijadikan buku tersebut, tertulis secara jelas pula bagaimana lika-liku perjuangan para penyiar awal tersebut. Ida Ismadi atau juga dikenal dengan Ida Roy mengatakan, Suara Surabaya dibangun di atas kekeluargaan yang kental.

“Tidak ada sekat antara Mas Tojo yang owner dan juga penanggungjawab dengan kita tim penyiar plus Arifin yang jabatannya segudang, mulai menemani penyiar malam, kadang ikut bersih-bersih, tapi juga sering membantu merapikan kaset, membuatkan kopi dan masih banyak lagi tugasnya. Kita semua merasakan keguyuban satu sama lainnya tanpa ada perselisihan, saling mendukung dalam hal meningkatkan kualitas siaran,” tulis Ida.

Ida melanjutkan, kekeluargaan terbangun dengan sendirinya karena para penyiar merasa ikut handarbeni, memiliki, merasa bertanggungjawab membesarkan nama Suara Surabaya yang baru lahir. Hal ini dibenarkan Arifin. Menurutnya, hingga enam bulan pertama, semua karyawan Suara Surabaya bekerja tanpa pamrih. “Tidak digaji tidak masalah. Peralatan seadanya, hanya dengan atap bambu pun kami jalan. Kami satu misi dengan Pak Tojo, ingin Suara Surabaya didengarkan masyarakat,” katanya.

Bagi Arifin, Suara Surabaya bukan sebuah perusahaan, tapi tempat pendidikan. “Saya hanya lulusan SMA. Awalnya saya adalah office boy di sini. Saya merasa semua karyawan Suara Surabaya adalah keluarga. Sampai sekarang, mereka menginspirasi saya untuk menjadi lebih baik. Dulu belum ada komputer, belum ada sistem. Lagu diputar secara manual. Lalu saya memulai. Saya belajar komputer, mengintegrasikan sistem administrasi sampai penjadwalan lagu di sini,” kenangnya.(iss/fik)

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs