Lumajang memiliki potensi kakao atau cokelat yang dibudidayakan di berbagai kecamatan, terutama yang tersebar di wilayah selatan. Potensi besar kakao ini dibudidayakan oleh petani dan sebagian dikembangkan korporasi melalui PT Perkebunan di lahan seluas 270 hektar.
Kantor Perkebunan Kabupaten Lumajang saat ini berupaya untuk mengembangkan budidaya kakao dengan memperluas lahan melalui diversifikasi lahan, yang dibudidayakan oleh 400 petani saja. Jumlah ini dinilai belum terlalu optimal dan terus ditambah melalui berbagai upaya.
“Kami memberikan berbagai bantuan kepada 400 petani kakao sebagai stimulan untuk memacu budidaya tanaman ini. Targetnya, jumlah petani kakao akan kita perbanyak sehingga lahan budidayanya juga bertambah luas. Dengan demikian produktivitas kakao juga bisa meningkat,” kata Mahmud Hadi Kepala Kantor Perkebunan Kabupaten Lumajang kepada Sentral FM, Sabtu (1/10/2016).
Petani kakao di Lumajang membudidayakan kakao di wilayah Kecamatan Tempursari, Pasrujambe, Candipuro, Pronojiwo, Senduro, Gucialit dan Randuagung. Luasan lahannya mencapai 270 hektar yang separuh diantaranya dibudidayakan oleh PT Perkebunan di lahan Hak Guna Usaha (HGU).
“Contohnya PT Perkebunan Kalijeruk di wilayah Kecamatan Randuagung,” ujarnya.
Mahmud mengatakan, besarnya potensi kakao ini menjadi salah-satu fokus pengembangan, karena tanaman ini bisa memberikan hasil sepanjang tahun. Meski sejauh ini masih ada petani yang masih berpikiran instan untuk mendapatkan penghasilan dengan menanam sengon.
“Kita memberikan penjelasan kepada mereka, karena lahannya sangat cocok untuk membudidayakan tanaman kakao ini. Keuntungannya, mereka bisa menghasilkan panen sepanjang tahun. Meski setiap tahunnya ada panen raya di bulan-bulan seperti ini, dan ada panen rutin terus menerus,” katanya.
Selain itu, petani juga mendapatkan penjelasan bahwa tanaman kakao juga sangat baik untuk konservasi. Terutama di lahan perbukitan yang berada di wilayah selatan yang rawan longsor.
“Untuk konservasi, tanaman kakao sangat baik. Ini yang sedikit-demi sedikit banyak mengalihkan petani untuk mulai menanam kakao,” ujarnya.
Perlu diketahui, tanaman kakao membutuhkan waktu hingga 2 sampai 3 tahun sampai produktif. Untuk produktivitasnya, di lahan dengan luasan satu hektar bisa menghasilkan oc atau biji kering mencapai dua ton.
“Produktivitas 2 ton ini belum optimal, karena memang masih dalam tahapan untuk mengembangkan agar lebih optimal lagi. Masih bisa dipacu lebih besar lagi produktivitas panennya melalui teknis budidaya yang tepat,” katanya.
Sedangkan untuk pasar komoditi kakao yang dihasilkan petani, kata Mahmud, sangat terbuka. Petani kakao Lumajang saat ini banyak mengirimkan hasil panennya untuk memasok kebutuhan kampung cokelat di Blitar. Harganya juga menguntungkan, karena untuk oc atau biji kakao perkilogramnya mencapai Rp30 ribu.
“Selain itu ada juga petani yang menjual ke pengepul untuk mengirim kebutuhan dari fabrikasi. Namun lebih menguntungkan menjual langsung ke kampung cokelat di Blitar. Karena memang ada kerjasama antara petani kakao Lumajang dengan kampung cokelat Blitar,” katanya.
Selain itu, petani kakao juga bisa juga membuat produk olahan dengan melibatkan unsur IKM (Industri Kecil Menengah) melalui berbagai home industry yang dikembangkan.
“Yakni melalui kelompok tani. Olahan dari kakao bisa dalam berbagai bentuk, seperti makanan, kue dan permen cokelat yang melibatkan IKM. Ini menjadi nilai tambah bagi pengembangan budidaya tanaman kakao. Karena selain bisa menghasilkan dengan dijual dalam bentuk oc atau biji kering, bisa juga diolah dalam bentuk makanan,” kata Mahmud Hadi. (her/tit/ipg)
Teks Foto :
– Tanaman kakao yang dibudidayakan petani Lumajang.
Foto : Sentral FM.