Selasa, 26 November 2024

Kasus Salim Kancil, Tijah dan Tosan Datangi Kejaksaan dan Polres Lumajang

Laporan oleh Sentral FM Lumajang
Bagikan

Keluarga Salim Kancil yang diwakili Ny. Tijah dan Tosan korban kasus tambang berdarah di Desa Selok Awar-Awar menilai jika proses hukum kasus tersebut belum sepenuhnya adil.

“Tijah, istri Salim Kancil bersama Tosan dengan didampingi kelompok masyarakat sipil yang menamakan diri Tim Advokasi Keadilan Salim Kancil dari LBH Surabaya, Walhi Jatim, YKBS dan Laskar Hijau, mendatangi Kejaksaaan Negeri (Kejari) dan Polres Lumajang untuk merespon hasil putusan sidangnya,” kata Ahmad Zaky Ghufron dari Tim Advokasi Keadilan Salim Kancil kepada Sentral FM, (28/6/2016).

Pasalnya, dalam sidang putusan kasus penyerangan dan pembantaian terhadap dua aktivis penolak tambang pasir besi di pesisir selatan Lumajang tersebut, hakim menjatuhkan vonis yang dinilai ringan untuk Hariyono, Kades Selok awar-Awar non aktif dan Mad Desir, Kepala Preman dari Kelompok 12.

Hariyono dan Mat Dasir sebagai otak penyerangan dan pembunuhan dengan hukuman 20 tahun. Hukuman ini lebih rendah dari tuntutan hukuman seumur hidup yang dituntutkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya.

Ahmad Zaky Ghufron mengatakan, pertemuan dengan JPU Kejari Lumajang dimaksudkan untuk meminta Jaksa mengajukan banding terhadap hasil putusan tersebut. “Karena keluarga korban dan masyarakat menilai vonis tersebut tidak memberi rasa keadilan kepada keluarga korban. Kejamnya proses pembantaian yang dilakukan dan gagalnya pengadilan membongkar mafia pertambangan dalang permasalahan dibalik penyerangan tersebut menjadi alasan utama keluarga korban dan kelompok masyarakat sipil menganggap vonis hakim tidak memberi rasa keadilan,” tuturnya.

Tim Advokasi Keadilan Salim Kancil sejak awal telah menengarai berbagai kejanggalan dalam proses persidangan yang berlangsung. Putusan hakim yang tidak memberi rasa keadilan kepada keluarga korban adalah puncak dari seluruh kegagalan persidangan dalam mendudukkan posisi kasus ini.

“Yakni, kasus penyerangan terhadap Salim Kancil dan Tosan adalah puncak gunung es dari pemburukkan krisis lingkungan yang terjadi dalam satu dekade terakhir di kawasan pesisir selatan Lumajang,” paparnya.

Puluhan pelaku penganiayaan Tosan dan membunuh Salim Kancil tersebut, masih katanya, tidak beroperasi sendiri untuk tujuan-tujuan sentimental yang bersifat pribadi. Kedua korban dianiaya karena keduanya melakukan penentangan atau protes terbuka terhadap operasi penambangan di wilayah kehidupannya.

“Meskipun operasi penambangan yang dilakukan oleh Kepala Desa Selok Awar-Awar bersifat illegal, namun kegiatan tersebut dilaksanakan secara terbuka dan masif, dan oleh karenanya pelaku penambangannya sangat boleh jadi berada dalam pelayanan perlindungan oleh aparatus kepolisian dan pemerintah setempat,” terangnya.

Selain mendatangi Kejati Lumajang untuk meminta JPU mengajukan banding, keluarga korban dan kelompok masyarakat sipil juga mendatangi Polres Lumajang guna melaporkan sejumlah nama tersangka yang sampai sekarang belum ditangkap.

“Padahal menurut masyarakat di sekitar Desa Selok Awar-Awar para tersangka yang belum ditangkap tersebut berkali-kali terlihat berkeliaran di Desa mereka. Selain tersangka yang belum ditangkap, kelompok masyarakat sipil juga mendesak kepolisian untuk mengembangkan penyelidikan terhadap pihak-pihak lain yang terlibat pertambangan di peisisr selatan Lumajang. Terlebih lagi, nama-nama yang telah disebutkan dalam persidangan menerima aliran dana tambang dari Kepala Desa Non Aktif Hariyono,” urainya.

Dalam kesempatan ini, Ahmad Zaky Ghufron memaparkan, dalam jangka-waktu sepuluh tahun terakhir, sabuk pesisir tersebut telah menjadi medan operasi tambang pasir-besi besar-besaran. Perusahaan tambang skala besar yang mendapatkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) termasuk PT Indo Modern Mining Sejahtera, PT Aneka Tambang (Tbk.), PT Agtika Dwi Sejahtera dan PT New Jember Golden International.

Di samping itu juga beroperasi unit-unit usaha lebih kecil berjumlah puluhan. Rentang garis-pantai yang sepenuhnya dibuka untuk pertambangan mencapai sekitar 70 kilometer. Padahal, kawasan pesisir selatan telah lama menjadi kawasan budidaya, baik pertanian pesisir maupun perikanan tangkap, sehingga aktivitas pertambangan yang eksploitatif, rakus lahan dan rakus air akan menimbulkan gesekan dengan kebutuhan warga akan keberlanjutan fungsi-fungsi alam sebagai syarat keberlangsungan ruang hidup mereka.

“Pembiaran terhadap konflik-konflik pertambangan dan bahkan pelanggaran perizinan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis tidak bisa terus didiamkan. Kita tengah menghadapi konsekuensi dari semakin banyaknya wilayah-wilayah lindung yang rusak dengan peningkatan jumlah bencana ekologis yang terjadi setiap tahunnya di Jawa Timur,” ujarnya.

Oleh sebab itu, lanjutnya, dibutuhkan langkah nyata Pemprov Jawa Timur dan segenap jajaran pemerintah daerah untuk menghasilkan kebijakan yang mampu mencegah berulangnya konflik-konflik pertambangan di kawasan pesisir selatan Jawa Timur.

“Pencabutan wilayah usaha pertambangan dari kawasan pesisir selatan dan penetapan kawasan lindung dan konservasi menjadi syarat mutlak pemulihan kawasan pesisir dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan resiko bencana ekologis serta penyelamatan ruang hidup rakyat,” pungkas dia. (her/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Selasa, 26 November 2024
32o
Kurs