Harga komoditi cengkeh saat ini menggiurkan bagi petani Lumajang. Pasalnya, komoditi hasil perkebunan ini mampu menembus harga minimal Rp100 ribu perkilogramnya. Namun, tanaman cengkeh yang ada saat ini belum optimal dibudidayakan petani, akibat terjadinya penebangan tanaman secara massive beberapa tahun lalu.
Ir Mahmud Kepala Kantor Perkebunan Kabupaten Lumajang kepada Sentral FM, Senin (19/9/2016) mengatakan, penebangan itu dilakukan petani pada era BPPC di tahun 1990-an, dimana skema perdagangan komoditi cengkeh diatur satu pintu. “Akibatnya banyak komoditi yang dihasilkan petani menjadi tidak laku,” katanya.
Karena tanaman ini kemudian tidak menghasilkan, semakin tahun akhirnya tidak terpelihara oleh petani. Bahkan terjadi aksi penebangan besar-besaran pohon cengkeh, untuk digantikan komoditi tanaman lainnya, seperti pisang, sengon dan lainnya. Meski tidak seluruh tanaman cengkeh ditebang habis oleh petani. Ada yang dibiarkan tetap tumbuh, namun tidak dipelihara.
Pada 5 tahun terakhir, masih menurut Mahmud, harga komoditi cengkeh mulai naik kembali. Sampai akhirnya, saat ini harga minimal komoditi cengkeh di pasaran mencapai Rp100 ribu perkilogram yang membuat petani kembali tergiur membudidayakan tanaman ini.
“Disitu, akhirnya petani menyayangkan karena cengkeh-cengkehnya terlanjur ditebang. Lebih ironis lagi, vanili yang harga perkilogramnya jutaan rupiah, juga telah habis ditebang beberapa tahun lalu. Hingga saat ini tidak ada yang mengembangkannya. Di saat ini, petani merasa menyesal,” paparnya
Ketika pasar komoditi cengkeh naik, petani yang masih memiliki lahan tanaman cengkeh di luar budidaya murni, akhirnya yang mampu memanfaatkan kesempatan mendapatkan penghasilan besar. Sedangkan, bagi petani yang lahan cengkehnya terlanjur ditebangi, sejak 5 tahun lalu mulai melakukan revitalisasi kebun kembali.
“Petani sudah lima tahun ini melakukan revitalisasi perkebunan cengkeh. Sekarang yang paling banyak berada di Kecamatan Pronojiwo, Tempursari, Candipuro, Pasrujambe dan Senduro. Di sana terbanyak cengkehnya. Revitalisasi cengkeh sudah mulai. Kalau ke Tempursari melalui Tlepuk dan Kaliuling, sudah banyak terlihat tanaman cengkeh di sepanjang jalan,” terangnya.
Untuk lahan budidaya cengkeh, luasannya mencapai 850 hektar. Komoditi ini dikembangkan 2 ribu petani dengan pola tanam konversi. “Seperti tanaman pekarangan. Jadi, seorang petani bisa memiliki 20 pohon,” ujarnya.
Komoditi cengkeh selain harganya mahal, masa panennya juga relatgif panjang. Petani bisa melakukan petik 3 kali di bulan Juni. “Selama sebulan dilakukan petik awal, petik maksimal dan petik lasutan yang menjadi petik terakhir,” tuturnya.
Mahmud menambahkan, melalui revitalisasi ini, lahan perkebunan cengkeh di Lumajang pun mulai mendatangkan keuntungan bagi petani. “Hanya saja, petani masih belum bisa mendudukkan budidaya yang sebenarnya. Yakni, mengatur jarak tanaman agar tanamannya baik. Misalnya, jarak tanaman yang bagus adalah 4 X 8 meter,” jelasnya.
Namun, masih menurutnya, sekarang ini masih ada tanaman yang dicampur dengan budidaya tanaman lain dalam satu lahan. Seperti tumpang sari dengan sengon dan tanaman jenis lainnya.
“Sehingga tanaman cengkeh yang seharusnya tumbuh dengan baik, jadi tidak optimal. Kalau seharusnya pohon yang bagus dengan tajuk bagus bisa menghasilkan 7 sampai 8 kwintal, akhirnya hanya bisa menghasilkan 2 kwintal saja. Petani belum membudidayakan tanaman cengkeh secara khusus. Meski, kami sering menurunkan penyuluh ke bawah, memberikan percontohan dan membantu mereka,” pungkas Mahmud. (her/dwi)
Teks Foto :
– Budidaya komoditi cengkeh di Lumajang.
Foto : Ist.