Perkara perkosaan dan pencabulan di Lumajang meningkat signifikan. Kurun 5 bulan mulai Januari hingga Mei 2016 ini, Kejaksaan Negeri (Kejari) Lumajang telah menangani 12 perkara.
“Seluruh perkara yang ditangani merupakan kejahatan asusila terhadap anak sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jumlah penanganan perkara yang kami tangani selama 5 bulan terakhir, mencapai 80 persen dari total perkara yang kami tangani selama 2015,” kata M Naimullah, SH. MH Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Lumajang kepada Sentral FM, Rabu (18/5/2016).
Selama tahun 2015 Kejari Lumajang menangani 16 perkara kejahatan asusila terhadap anak baik perkosaan maupun pencabulan. “Itu keseluruhan perkara yang kami tangani selama setahun lalu, mulai Januari sampai Desember. Berarti perkara-perkara tersebut sudah dalam proses persidangan,” ujarnya.
Namun, untuk 12 perkara kejahatan asusila terhadap anak yang ditangani selama 5 bulan terakhir, posisinya ada yang masih SPDP (penyidikan, red) dan beberapa sudah disidangkan. Untuk pelakunya, rata-rata orang yang dikenal oleh korban.
“Pelakunya 60 persen orang dewasa dan 40 persen masih anak-anak juga. Pemicunya, kebanyakan akibat menonton video porno dan tayangan pornografi lainnya melalui internet. Dan locus delicty (lokasi) kasus perkosaan dan pencabulan anak didominasi terjadi di wilayah pinggiran,” katanya.
Ironisnya, di antara pelaku perkosaan dan pencabulan terhadap anak di Lumajang, ada juga yang berstatus PNS dan guru.
Dalam proses persidangan, M Naimullah menjelaskan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lumajang menerapkan tuntutan pidana berat bagi seluruh perkara perkosaan dan pencabulan anak yang ditangani.
Rata-rata, pelaku yang diseret menjadi terdakwa dalam persidangan dituntut hukuman selama 13 sampai 14 tahun penjara dari ancaman hukuman maksimal selama 15 tahun penjara.
Sedangkan putusan terhadap pelakunya, masih menurut M Naimullah, rata-rata berada di kisaran 11 sampai 13 tahun penjara. Putusan ini juga melihat kronologis dan dampak yang dialami korbannya.
“Perkosaan kan ada yang sampai alat kelamin korbannya rusak dan kalau pencabulan sampai mempengaruhi kondisi psikhis korbannya hingga traumatik. Kami (jaksa, red) juga melihat kondisi psikhis korban setelah kejadian. Di sidang ada yang tertekan hingga meminta didampingi keluarga. Ada juga yang biasa. Selain itu, ada juga korbannya lebih dari satu hingga tuntutannya tentu lebih tinggi,” ujarnya.
Apalagi Undang-Undang Perlindungaan Anak menekankan perlindungan terhadap korban. “Korban di sini adalah korban baik perempuan maupun laki-laki dibawah usia 18 tahun. Namun kadang kala ada berkas yang masuk, pelakunya juga anak-anak. Ini karena kurangnya pengawasan. Semisal pacaran kebablasan hingga terjadi hubungan intim. Tetap saja masuk ranah Undang-Undang Perlindungan Anak,” katanya.
Wacana perberatan pidana bagi pelaku perkosaan dan pencabulan terhadap anak, secara umum M Naimullah sangat mendukung. Pasalnya secara pribadi sebagai seorang bapak, ia juga geram melihat terjadinya kasus kejahatan asusila terhadap anak yang terjadi.
“Apalagi jika sampai membahayakan dengan korban yang banyak. Saya sendiri jadi marah melihatnya. Saya setuju untuk yang seperti itu dihukum berat dengan dikebiri. Bahkan saya pribadi mendukung adanya Perppu yang segera diterbitkan Presiden RI untuk penanganan kasus kejahatan asusila terhadap anak ini sebagai efek jera,” kata M Naimullah. (her/ipg)