Bangunan peninggalan masa kolonial Belanda di wilayah Kabupaten Lumajang cukup banyak. Salah-satunya adalah bangunan megah yang berada di lereng Gunung Semeru, tepatnya di Dusun Tawonsongo, Desa/Kecamatan Pasrujambe, Kabupaten Lumajang ini.
Namanya Rumah Loji, sebuah bangunan yang menjadi pos pengamatan banjir lahar Gunung Semeru yang telah didirikan sejak tahun 1909 silam. Bangunan ini telah ditetapkan Pemkab Lumajang sebagai salah-satu aset cagar budaya yang dilestarikan.
Drs Gawat Sudarmanto Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Lumajang kepada Sentral FM, Kamis (3/9/2015) mengatakan, sebagai pos pengamatan lahar yang meluncur dari Gunung Semeru, Rumah Loji memang dibangun di lokasi yang strategis di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Rumah itu menghadap langsung ke DAS (Daerah ALiran Sungai) Besuk Sat yang menjadi jalur lahar terhampar di bawahnya dengan jarak sekitar 50 meter.
Sungai ini sangat lebar dan saat musim penghujan kerap menjadi area luncuran material lahar dari puncak Gunung Semeru dengan sangat derasnya. Dengan lokasi bangunan yang strategis ini, petugas yang berjaga di Rumah Loji sangat mudah memantau terjadinya banjir lahar.
“Rumah Loji ini memang dinilai penting bagi pemerintah kolonial Belanda saat itu karena lahar memang kerap menerjang dan berpotensi membahayakan warga di bawah, terutama di kawasan Lumajang yang menjadi wilayah pusat pemerintahan,” paparnya.
Selain itu, bangunan peninggalan Belanda yang jarang ditempati ini, dulunya juga digunakan sebagai tempat beristirahat bagi petinggi kolonial Belanda yang berkunjung memantau perkebunan kopi yang dikelola masyarakat setempat.
Dari pantauan Sentral FM, Rumah Loji yang berdiri di tengah-tengah perkebunan jagung ini, sangat representatif digunakan sebagai tempat penginapan. Bangunan ini dilengkapi rumah pertemuan, 6 kamar tidur, dapur dengan 10 kamar mandi dan toilet berderet yang airnya berasal dari mata air di lereng Gunung Semeru.
Di depannya, ada tiga gazebo sebagai tempat bercengkerama yang suasananya teduh dengan pohon rambutan dan kenitu yang rindang. Jika langit sedang cerah, dari gazebo ini juga bisa dilihat panorama Gunung Semeru yang mengeluarkan asap vulkaniknya.
“Bahkan, di tempat ini juga terdapat pusat pelatihan rekreatif berupa outbound atau outing lengkap dengan flying fox dan perangkat rekreatif lainnya. Bagi yang ingin memacu adrenalinnya dengan menjajal keberaniannya melintasi sungai dengan dua utas tali baja di atas ketinggian sekitar 25 meter. Atau anak-anak yang ingin berjalan-jalan di udara, meniti tali dari pohon ke pohon atau berayun-ayun dari cabang ke cabang pohon,” jelas Gawat Sudarmanto.
Rumah Loji ini ditetapkan sebagai cagar budaya pada 2014 oleh Pemkab Lumajang karena telah memenuhi kriteria.” Dari segi umur bangunan sudah memenuhi syarat dan bangunan ini juga memiliki nilai historis. Bagi yang ingi tahun kepada wilayah ini dinamakan Tawon Songo, karena asalnya dari Tahun didirikannya rumah Loji ini pada Tahun 1909 sehingga disebut Tahun Songo lalu menjadi Tawon Songo,” urainya.
Ke depan, Disbudpar Kabupaten Lumajang akan memugar bangunan yang dalam pengelolaan Dinas Pekerjaan Umum (PU) ini, tanpa menghilangkan bentuk keasliannya. (her/dwi/ipg)
Teks Foto :
– Inilah Rumah Loji, pos pengawas lahar Gunung Semeru yang dibangun Kolonial Belanda Tahun 1909 yang ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemkab Lumajang.
Foto : Sentral FM