Pasca insiden pengeroyokan terhadap dua warga penolak tambang di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, aksi penolakan penambangan pasir semakin menguat di antara warga setempat.
Warga dengan tegas mendesak agar aktivitas penambangan pasir di pesisir pantai tersebut dihentikan dan seluruh kelompok pelaku penambangan yang telah merusak kawasan pesisir pantai dijatuhi pidana.
“Warga sepakat menolak. Situasi desa yang saat ini masih memanas akan semakin menguatkan penolakan kami. Untuk itu mohon kepada pemerintah segera menutup tambang pasir tersebut,” kata Mulyadi (49), warga Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, kepada Sentral FM, Senin (28/9/2015).
Mulyadi juga menyatakan, bahwa warga tidak mau makan uang pasir, jika dampaknya merusak lingkungan.
“Coba dilihat saja, pesisir pantai jadi rusak, berlubang-lubang. Bahkan jalur perahu nelayan juga rusak dikeruk dengan alat berat. Perahu nelayan sudah tidak bisa lewat sekarang,” katanya saat bertakziah di rumah duka keluarga Salim alias Kancil, korban tewas dalam aksi pengeroyokan.
“Kami menolak segala bentuk penambangan. Pemerintah harus mendengarkan tuntutan kami ini, agar penambangan ini segera dihentikan. Tidak hanya di Desa Selok Awar-Awar saja, tapi di seluruh wilayah selatan Lumajang,” katanya menambahkan.
Menurutnya, aktivitas penambangan pasir di sempadan pantai Watu Pecak di Desa Selok Awar-Awar sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. “Dampaknya, pesisir pantai mulai dari Desa Selok Awar-Awar sampai Desa Pandanarum di Kecamatan Tempeh hancur semuanya. Padahal pantai ini menjadi salah-satu obyek wisata andalan Lumajang,” katanya.
Ironisnya, kondisi itu tidak membuat aktivitas penambangan pasir dihentikan. Pengerukan pasir di pesisir pantai terus berlanjut. Setiap hari, lebih dari 600 truk pengangkut pasir melintas di jalanan desa.
“Kepala Desa Hariyono membuat Peraturan Desa, setiap truk pasir yang melintas harus membayar pungutan Rp20 ribu. Bisa dihitung sendiri berapa banyak pungutan yang diperoleh. Pembayaran itu dilakukan di portal yang sengaja didirikan sebagai pos pungutan. Portal itu illegal,” katanya.
Mulyadi menambahkan, pengalokasian uang hasil pungutan itu juga tidak jelas. “Warga tidak pernah tahu, apalagi dijelaskan. Dialokasikan kemana uang itu, warga tidak tahu,” kata Mulyadi.
Status lokasi tambang pasir yang setiap hari dikeruk, lanjutnya, juga tidak jelas. “Pokoknya, lahan itu langsung dikeruk begitu saja. Akibatnya, seperti yang dialami Salim alias Kancil yang menjadi korban tewas itu, sawahnya jadi rusak karena penambangan pasir tersebut, hingga tidak bisa panen lagi,” katanya.
Sekadar diketahui, pada 9 September lalu, warga pernah menggelar aksi demo sehingga aktivitas penambangan pasir sempat dihentikan hanya selama empat hari, kemudian dilanjutkan kembali.(her/iss/ipg)