Jumat, 22 November 2024

Aktivis Jatim Tolak Eksploitasi Gunung Lemongan dan Argopuro

Laporan oleh Sentral FM Lumajang
Bagikan

Para aktivis konservasi di Jawa Timur resah dengan rencana eksploitasi potensi geothermal (energi panas bumi) di Gunung Lemongan dan Gunung Argopuro yang merupakan bentang pegunungan Hyang oleh PT. Pertamina bekerjasama dengan PT. Hitay Rawas Energy dari Turki.

“Dalam kegiatan ini, kami menggelar diskusi membahas rencana eksploitasi geothermal yang disebut-sebut memiliki potensi energi panas bumi yang besar, yakni sekitas 295 Mwe dengan Wilayah Kerja Pertambangan seluas 102.400 Hektar ini,” kata Aak Abdullah Al Kudus, koordinator Laskar Hijau Gunung Lemongan kepada Sentral FM, Senin (1/6/2015).

Para aktivis tersebut mempermasalahkan cara atau teknik yang dipakai untuk mengekplorasi energi panas bumi tersebut. Teknik yang dimaksud adalah Fracking atau Hydraulic Fracturing.

“Para aktivis banyak yang mempertanyakan tentang dampak negatif dari eksplorasi geothermal dengan teknik fracking. Teknik fracking ini memanglah cara yang paling efisien untuk mengekplorasi geothermal,” papar Aak Abdullah Alkudus yang memandu diskusi tersebut.

Caranya, dengan mengebor dengan kedalaman ribuan meter ke bawah tanah dan menginjeksikan jutaan galon air yang dicampur dengan bahan-bahan kimia ke lapisan serpihan tanah yang menyimpan energi panas bumi untuk meledakan lapisan tersebut dan energi panas bumi bisa terlepas dan selanjutnya ditambang.

Namun cara ini akan membawa dampak negatif, diantaranya pencemaran air yang terjadi oleh kontaminan mematikan seperti Arsenik, Antimon dan Boron. “Ini seperti yang terjadi di negara-negara bagian di Amerika, terutama negara yang ada di Marcellus Shale, di mana air-air tercemar dan air kran bisa menyala ketika disulut dengan api. Di Indonesia kasus ini bisa ditemukan di Mataloko, NTT,” terangnya.

Dampak lainnya adalah Amblesan (Subsidence), seperti yang terjadi di Wairakei, Selandia Baru, dengan kecepatan 200 milimeter pertahun dan diperkirakan akan mencapai 2002 meter pada 2050. Selain itu, juga akan memicu Fracking dan Gempa Bumi yang diakibatkan oleh menurunnya kohesivitas (daya ikat) pada batuan.

“Juga karena pertambahan fluida dalam reservoir yang kemudian menyebabkan kenaikan tekanan. Reservoir terfasilitasi untuk mengalami pergerakan (slip) karena gaya gesek statis (static friction)nya terlampaui yang kemudian menjadi gempa bumi,” tuturnya.

Dampak ikutan yang juga berpotensi terjadi, hancurnya air mancar panas (geyser) karena pengeboran ke bawah permukaan dan ekstraksi panas lewat power plant, sehingga membuat geyser alami kehilangan tekanan dan lama-kelamaan kering. “Ini seperti yang terjadi di Nevada, Islandia dan di Selandia Baru,” pungkasnya. (her/dop/tok)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs