
Aktivitas vulkanik Gunung Semeru terus dipantau setiap detik perkembangannya oleh Pusat Vulkanologi, Mitigasi dan Bencana Geologi (PVMBG).
Hendrasto Kepala PVMBG dalam kunjungan kerjanya di Kabupaten Lumajang, Senin (17/11/2014) mengatakan, bahwa pertumbuhan kubah lava di kawah gunung dengan ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut semakin membesar.
“Kubah lava yang tumbuh, saat ini kita prediksikan debitnya mencapai 4 juta metrik ton. Debit sebanyak ini untuk material pijar tentu sangat besar dan membahayakan,” katanya kepada Sentral FM.
Dia menegaskan, tidak boleh ada masyarakat yang beraktivitas di radius 4 kilometer bukaan arah tenggara yang mengarah di jalur luncuran lava pijar Semeru.
“Sebab, kubah lava itu ketika ambrol ke bawah akan berubah menjadi luncuran guguran lava pijar. Potensi bahayanya sampai radius 4 kilometer,” jelasnya.
Imbauan tidak ada aktivitas di radius bahaya ini, Hendrasto meminta untuk dipatuhi benar mengingat potensi bahayanya. Apalagi, wilayah pemukiman terdekat, radiusnya 9 kilometer dari puncak.
“Pemukiman terdekat, yakni Dusun Rowobaung, Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo. Pemukiman ini masih relatif jauh dan aman dari potensi ini. Hanya saja, masyarakatnya jangan sampai beraktivitas naik. Itu saja,” paparnya.
Menyangkut ancaman bahaya lain, lanjutnya, adalah potensi bencana sekunder lainnya di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) di kaki gunung tertinggi di Pulau Jawa ini. Terutama, ketika hujan menguyur deras kawasan puncak Gunung Semeru.
“Saat hujan menguyur kawasan puncak Semeru, masyarakat yang beraktivitas di sungai kami minta untuk berhenti dan memilih naik ke bantaran yang lebih aman. Karena kubah lava ini ketika diguyur hujan bisa dibawa banjir bandang yang meluncur ke seluruh DAS Semeru. Nah, banjir bandang ini membawa material panas atau lahar panas. Bukan lahar dingin yang membawa bebatuan dan pasir seperti selama ini,” ungkapnya.
Kepala PVMBG menambahkan, untuk sistem kebencanaan di Gunung Semeru, terutama menyangkut potensi guguran lava pijar, guguran awan panas, lahar panas, lahar dingin dan lainnya, kecepatan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat tidak mungkin dilakukan melalui early warning system.
“Kalau dipasang sirine, waktunya sampai berapa cepat. Waktu yang dibutuhkan sampai berapa lama untuk menghindar. Itu tidak bida dihitung. Sementara, bencana Semeru itu datangnya cepat, hanya berapa menit saja. Jangan sampai masyarakat menggantungkan sirine. Wah sirine belum bunyi kok. Kalau sudah begitu ya siapa yang bisa memprediksi. Ini yang harus dipatuhi masyarakat,” pungkas M Hendrasto. (her/ono/ipg)
Teks Foto :
– Gunung Semeru.
Foto : Sentral FM