Jumat, 22 November 2024

Cemas Produksi Makanan Mengandung Babi, Teliti Pendeteksi Gelatin Babi

Laporan oleh J. Totok Sumarno
Bagikan
Dr rer nat Fredy Kurniawan SSi MSi, dosen Departemen Kimia ITS, bersama tim lakukan penelitian alat pendeteksi Gelatin Babi, Foto: Humas ITS

Kecemasan warga muslim tentang kandungan Gelatin Babi pada produk makanan, dorong Dr rer nat Fredy Kurniawan SSi MSi, dari ITS lakukan penelitian alat pendeteksi Gelatin Babi.

Fredy Kurniawan dosen Departemen Kimia ITS, bersama tim lakukan penelitian alat pendeteksi Gelatin Babi dalam makanan olahan untuk pengendalian produk halal.

Saat ini berbagai macam produk makanan olahan banyak diburu konsumen. Sayangnya, masih banyak produsen yang tidak mencantumkan informasi yang jelas mengenai bahan-bahan pada produknya.

Kurangnya informasi tersebut menjadi kekhawatiran bagi sebagian golongan masyarakat selaku konsumen, khususnya masyarakat muslim.

Satu diantara yang banyak mencemaskan warga muslim adalah tentang kandungan Gelatin Babi pada produk makanan. Itulah yang mendorong Fredy Kurniawan melakukan penelitian.

Gelatin sendiri banyak digunakan dalam industri obat-obatan dan makanan. Umumnya, gelatin digunakan untuk penstabil, penebal, dan pengenyal pada roti. Dapat juga sebagai tambahan pada permen lunak, es krim, jeli, dan lain-lainnya.

Sumber gelatin terbesar berasal dari kulit babi, yaitu sebesar 45,8 persen. Sumber lainnya adalah dari kulit sapi 28,4 persen, tulang 24,2 persen dan 1,6 persen sisanya berasal dari bahan baku selain kulit dan tulang. Secara fisik, Gelatin Babi dan Sapi sangat mirip sehingga susah dibedakan.

Dosen yang baru saja dilantik sebagai Kepala Departemen Kimia ITS ini mengungkapkan, metode yang digunakan untuk membuat alat pendeteksi Gelatin Babi ini adalah sensor Quartz Crystal Microbalance (QCM) yang dimodifikasi.

QCM adalah satu diantara metode elektrokimia yang tergolong sederhana dalam peralatan dan operasionalnya.

“Kunci dari cara kerja sensor ini adalah material spesifik yang dapat membedakan kedua jenis gelatin, jadi respon yang diberikan oleh sensor terhadap Gelatin Babi dan selain babi bisa dibedakan secara nyata atau signifikan,” terang Fredy.

Cara kerja alat ini yaitu dengan mendeteksi perbedaan respon yang diberikan antara gelatin babi dan selain babi.

“Apabila mengandung gelatin babi maka respon frekuensi yang diberikan alat akan naik, sedangkan untuk kandungan selain babi respon frekuensinya akan turun,” papar Fedy.

Alat pendeteksi Gelatin Babi karya Fredy bersama tim ini dipastikan mampu bekerja dengan ketelitian 100 ppm.

Penelitian yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) ini sudah mencapai tahap akhir. Fredy dan timnya saat ini fokus untuk menyempurnakan kekurangan dan menguji interferensi yang timbul pada matriks yang berbeda.

“Kami juga berusaha untuk membuat alat ini lebih kecil atau portable, sehingga bisa dibawa ke mana-mana dan langsung bisa dipakai di lapangan, tak perlu lagi sampel dibawa ke laboratorium,” kata Fredy.

Fredy menyampaikan bahwa alat pendeteksi gelatin babi ini akan dikenalkan ke khalayak masyarakat luas setelah siap 100 persen.

“Untuk tahap pertama, target kami adalah laboratorium terkait pengujian halal, selanjutnya apabila keseluruhan bagiannya sudah dapat diproduksi oleh lokal, maka bisa dipakai langsung oleh masyarakat luas,” papar Fredy.

Beberapa bagian alat, lanjut Fredy memang masih impor dan butuh waktu lebih lama apabila diproduksi oleh lokal.

Dalam penelitian ini, Fredy dibantu oleh mahasiswa dan beberapa dosen dari dalam dan luar ITS sesuai dengan keahlian masing-masing yang dibutuhkan untuk melengkapi proyek ini.

Melalui kerja keras tim selama ini, secara khusus Fredy berharap metode ini bisa digunakan sebagai metode standar. “Secara umum saya berharap hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas,” pungkas Fredy, Senin (6/1/2020).(tok/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs