Pekerja musiman dan tetap Warga Negara Indonesia di Arab Saudi, hampir tidak pernah melewatkan kesempatan berhaji setiap tahunnya. Akibat ijin yang tidak lagi mudah, serta biaya perijinan yang semakin mahal, mereka memilih jalur non kuota. Karena itulah mereka menyebut diri mereka sebagai “Haji Koboi”.
Saiful Arifin warga Cianjur yang pekerja penjaga rumah di Jeddah, merupakan salah satu WNI yang menjalan haji koboi. Dia sudah menjalankan 3 kali ibadah haji koboi dengan sukses dan membutuhkan sedikit biaya.
Tahun ini, dia menyiapkan dana 400 Real atau Rp1,5 Juta. Menurut Saiful, pengeluaran paling banyak yang dia keluarkan adalah transportasi dari Jeddah ke Mekkah. Sementara itu, untuk akomodasi, dia memilih tinggal di Masjidil Haram. Dia juga mengandalkan sumbangan dermawan untuk makan, serta minum dari air zam-zam yang terdapat di Masjidil Haram.
Setidaknya lima tantangan yang dihadapi oleh para Jemaah Haji Koboi seperti Saiful. Pertama adalah larangan dari majikan mereka. Saiful mengatakan, cukup banyak majikan yang tidak memberi restu untuk berangkat haji koboi ini. Bahkan, ada yang mendapatkan ancaman akan dilaporkan karena berangkat haji secara ilegal.
“Selain itu, kami juga harus menghindari operasi pihak polisi di beberapa titik masuk kota Mekkah. Terkadang harus melewati padang gurun,” ujarnya kepada suarasurabaya.net.
Tantangan berikutnya adalah menghindari membayar biaya perijinan haji yang mencapai 7 ribu real atau sekitar Rp22 Juta tiap orangnya.
Tidak hanya itu saja, akibat menghindari jalur resmi, maka secara otomatis mereka juga tidak bisa melakukan Miqod atau memulai haji di tempat-tempat resmi seperti Hudaibiyah, Tanim atau Jironnah. Untuk itu, mereka terpaksa harus mengganti Miqod di Masjidil Haram dan mulai berpakaian Ihrom.
Karena tidak sesuai dengan syariah, mereka pun harus membayar denda dam dan memotong seekor kambing. Meskipun begitu, mereka juga tetap tidak sanggup untuk membayar denda dam, sehingga diganti dengan puasa selama menunaikan ibadah di Mekkah selama 3 hari dan ditambah 10 hari setelah pulang haji.
Tantangan yang terakhir adalah wukuf. Mereka tidak mendapat fasilitas dari pemerintah Indonesia, seperti akomodasi, katering makanan, kesehatan dan perlindungan diri. Sementara itu, di Padang Arafah, mereka juga membangun tenda mereka sendiri, bahkan mereka rela terkena panas matahari saat wukuf bagi yang tidak punya tenda.
“Tantangan yang berisiko nyawa adalah ibadah haji di Jamarat. Karena kami meyakini lempar jumrah harus dilakukan pada waktu yang afdol. Banyak yang melakukannya pada waktu-waktu yang dilarang untuk Jemaah ASEAN, karena menyatu dari Jemaah asal Afrika, Asia Tengah dan Eropa yang berpostur tubuh besar,” katanya.
Meskipun keberadaan Haji Koboi seperti Saiful tidak diakui dan tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah, jumlah mereka cukup banyak. Resiko itu sengaja mereka ambil, asalkan mereka bisa menjadi haji mabrur dengan biaya yang murah. (edy/tit)