Restoran dengan menu utama hidangan khas makanan Jepang, Ajinoya Japanese Street Food. Dikelola wanita kelahiran Surabaya, secara tangkas dan melibatkan kelembutan hati. Melinda Fransiska Wijaya, berjibaku hadapi ujian pandemi demi bisnisnya tetap eksis.
Melirik latar belakang wanita lajang ini, sama sekali tidak berlatar belakang kuliner atau masak-memasak. Justru kuliah yang dipilihnya adalah jurusan Art Management di salah perguruan tinggi di Singapura.
Tinggal di negeri Singa selama 6 tahun, dengan level hidup yang terbilang cukup baik. Pernah bekerja sebagai Production Manager di sebuah perusahaan pertunjukan.
Hingga suatu titik harus memenuhi permintaan orang tua untuk kembali ke tanah air. Walaupun dengan sekian konsekuensi yang harus diterima Melinda. Seperti kehilangan pekerjaan dengan jabatan bagus, gaji tinggi, hingga tempat tinggal sangat layak.
Sepulang dari luar negeri aktivitasnya hanya membantu usaha orang tua yang punya usaha dagang. “Bisa dikata, hampir selama 2 tahun saya nganggur,” tegasnya kepada Suarasurabaya.net via sambungan telepon.
Jalan hidup Melinda berubah tatkala suatu ketika, toko milik orang tuanya kedatangan pembeli yang ternyata seorang Chef Makanan Jepang, dari sebuah hotel. Terlibat obrolan santai, sang Chef menawarkan kerjasama untuk membangun usaha restoran menu makanan Jepang.
Pertemuan pertama, Melinda menolak, karena dia sama sekali tidak punya pengetahuan tentang bisnis kuliner. Pertemuan kedua, Melinda masih gigih tidak tertarik menerima tawaran kerjasama itu.
Setelah beberapa waktu, pada pertemuan ketiga, entah kenapa tiba-tiba Melinda berubah pikiran. Pikirnya, karena kelamaan menganggur tidak ada salahnya bila tawaran itu dicoba. Dilanjutkan dengan diskusi bersama orang tua, ternyata orang tua pun mendukung.
Ada misi ideal di hati Melinda, ketika ditanya kenapa setuju memilih membangun restoran makanan Jepang. “Asumsi di masyarakat tentang makanan Jepang pasti mahal, ingin saya patahkan dengan menghadirkan makanan Jepang dengan harga masuk akal,” jelasnya.
Memilih lokasi di sekitar jalan Raya Dukuh Kupang, dan usahapun berjalan dengan dibantu lima orang karyawan. Dalam perjalanan waktu berkembang hingga memiliki karyawan kontrak, seluruhnya berjumlah 8 orang yang mengelola restoran itu.
Memasuki tahun kedua, ujian bisnis mulai mendera. Sang Chef karena suatu hal meninggalkan kerjasama dan pergi dari restoran Ajinoya. Bagaimana dengan Malinda? Terlanjur basah, pelanggan sudah ada didukung karyawan yang masih muda-muda setia membantunya. “Saya putuskan, bisnis jalan terus!” tukasnya.
Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, jalan hidup manusia semua adalah rahasia Tuhan. Usaha yang dirintis berjalan memasuki tahun keempat, pandemi Covid-19 melanda negeri. Bisnis yang sudah menunjukkan hasil, tumpah hingga mencekik catatan keuangannya.
Semua tahu, hidangan makanan Jepang bukanlah menu utama yang dicari semua orang, selain itu persepsi kebanyakan makanan Jepang itu mahal masih menancap. Klop sudah hantaman ujian ini mendera Melinda.
Memperhatikan situasi yang ada, langkah pertama yang dilakukannya adalah menguatkan sikap dan prilaku. “Saya menjaga benar-benar prilaku karyawan yang 8 orang itu untuk menjaga kesehatan dan tidak bersikap meremehkan virus Corona. Mereka harus menerapkan kebiasaan-kebiasaan baru yang sebelumnya tidak biasa,” tutur Melinda.
Seperti kebanyakan persoalan dihadapi restoran, usaha jatuh hingga 65%, karena tidak ada lagi kastamer yang datang dan makan di tempat. Melinda yakin bertahan, dan berprinsip tidak akan merumahkan karyawannya.
“Saya berpikir balik ke diri Saya sendiri, seandainya dirumahkan, tidak bekerja, bagaimana kehidupan mereka? Bagaimana yang sudah bekerluarga? Saya tidak tega,” ungkapnya.
Melinda meminta kepada karyawannya untuk membantunya. Dia menerapkan tambahan libur menjadi 8 hari dalam sebulan, dengan 4 hari tanpa dibayar. Dan Melinda terus menguatkan semangat mereka, untuk bersama berusaha, melakukan segala yang bisa dilakukan.
“Sering saya sampaikan kepada karyawan saya, selama kamu di sini silahkan ambil pelajaran yang berguna, karena kalian tidak akan selamanya bekerja di sini. Suatu saat kalian akan membangun usaha dan menjadi boss untuk bisnis kalian sendiri,” jelasnya.
Maret hingga Agustus sungguh merupakan masa keterpurukan dalam usahanya. Operasional restoran menguras tabungan pribadi. “Apa saja yang bisa dijual, dijual, seperti beras Jepang yang merupakan bahan utama menunya, ketika ada yang berminat, maka kami jual. Beberapa fasilitas di restoran pun dikurangi, seperti layanan internet dan pemakaian AC,” urainya.
Restoran hanya melayani penjualan take away dan pemesanan. Pola penjualan online menjadi solusi, walau hasilnya tidak seberapa. “Memang banyak pembeli melalui aplikasi itu, tapi bagi kami hasilnya sedikit, berbeda dengan penjualan langsung,” ungkap Melinda.
Bulan September, setidaknya akhir Agustus 2020, mulai tampak perubahan. “Orang-orang mulai berani keluar. Walau Kami harus membatasi pengunjung hanya 50% dari total kapasitas pengunjung. Ini memberi aliran semangat baru bagi bisnis ini,” ujarnya.
“Saya semakin yakin, bahwa ini akan bergerak ke perubahan yang lebih baik. Demi terus memikat pelanggan, kami mulai menghadirkan menu-menu baru. Bahkan beberapa rencana sudah disiapkan bila segalanya memungkinkan di masa mendatang,” katanya bersemangat.
Pemilik restoran Ajinoya satu-satunya di Surabaya ini memegang prinsip. Baginya, segala yang dijalani ini merupakan titipan Tuhan kepadanya. Selama ada kesempatan jalankan semampu kita.(lim)