
Lukman Leong analis mata uang memperkirakan nilai tukar (kurs) rupiah menguat dipengaruhi pelemahan indeks kepercayaan konsumen Amerika Serikat (AS) menjadi 92,9 dari bulan lalu 100,1 dan ekspektasi 94.
“Rupiah diperkirakan akan menguat terhadap dolar AS yang terkoreksi setelah survei menunjukkan indeks kepercayaan konsumen AS yang turun ke tingkat terendah dalam 12 tahun,” ungkapnya dilansir dari Antara pada Rabu (26/3/2025).
Di samping itu, kekhawatiran investor terhadap kebijakan tarif Donald Trump Presiden AS akan mulai diterapkan pekan depan membatasi penguatan.
Walaupun tarif AS masih penuh dengan ketidakpastian karena ada kemungkinan revisi atau memundurkan jadwal penerapan kebijakan tersebut, tetapi hingga saat ini Trump tetap bersikukuh memberlakukan rencana tersebut pada 2 April 2025.
Pasar tak yakin seberapa besar Trump akan berkomitmen terhadap rencana penerapan tarif tersebut, mengingat ia telah mengubah langkah-langkah terhadap Kanada dan Meksiko pada awal bulan ini.
Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, Tiongkok dan Uni Eropa telah mempersiapkan balasan terhadap AS dan diperkirakan bakal memberlakukan tindakan lebih ketat terhadap tarif timbal balik Trump.
Tensi ketegangan perdagangan global diperkirakan akan meningkat seiring kebijakan tarif timbal balik dari AS, walaupun ada sebagian negara yang mendapatkan keringanan.
Donald Trump Presiden berencana menerapkan pendekatan yang lebih selektif terhadap tarif timbal balik mulai bulan depan. Alih-alih mengenakan pungutan yang luas di seluruh industri, pemerintahan Trump diharapkan untuk fokus pada negara-negara dengan ketidakseimbangan perdagangan yang signifikan dengan AS.
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan Rabu pagi di Jakarta menguat sebesar 8 poin atau 0,05 persen menjadi Rp16.604 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.612 per dolar AS. Pada penutupan perdagangan kemarin, kurs rupiah menyentuh angka Rp16.612 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.568 per dolar AS.
“Kombinasi dari kekhawatiran kebijakan tarif Trump yang menekan mata uang emerging pada umumnya dan kekhawatiran investor akan perkembangan domestik belakangan ini seperti defisit anggaran, penurunan rating oleh Morgan Stanley dan Goldman Sachs, kontroversi UU TNI (Undang-Undang Tentara Negara Indonesia), dan Danantara,” ungkap Lukman. (ant/dra)