Senin, 10 Maret 2025

Pengamat Pertanian Sebut Indonesia Produsen CPO Terbesar, Tapi Minyak Goreng Jadi Masalah

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
MinyaKita yang masih dijual diatas HET di sejumlah pasar tradisional Kota Surabaya. Foto: Meilita suarasurabaya.net

Andi Amran Sulaiman Menteri Pertanian menemukan MinyaKita kemasan 1 liter ternyata hanya berisi 750 hingga 800 mililiter. Itu diketahui setelah Amran membeli MinyaKita dan menakar isi dengan gelas takar ukuran 1 liter di Pasar Lenteng Agung, Sabtu (8/3/2025).

Menyikapi hal ini, Khudori pengamat pertanian menduga menyebut praktik ini bukan semata ulah produsen nakal, melainkan juga akibat kebijakan yang tidak realistis.

Harga bahan baku utama minyak goreng, yakni Crude Palm Oil (CPO), dalam enam bulan terakhir berkisar antara Rp15.000-Rp16.000 per kilogram.

Dengan konversi CPO ke minyak goreng sebesar 68,28 persen dan asumsi 1 liter setara 0,8 kg, harga CPO maksimal untuk memproduksi MinyaKita sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) Rp15.700 per liter seharusnya hanya Rp13.400 per kg.

“Ini baru bahan baku. Belum biaya pengolahan, distribusi, dan margin keuntungan. Harga CPO saat ini jelas membuat produksi MinyaKita di bawah HET mustahil tanpa rugi,” ungkap pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) itu.

Khudori menduga, tingginya biaya produksi yang tak sebanding dengan HET memaksa produsen mencari jalan pintas. Ada dua opsi yang mungkin: menjual sesuai HET tapi mengorbankan kualitas—termasuk menyunat isi—atau tetap menjaga kualitas tapi menjual di atas HET.

“Keduanya melanggar aturan, tapi jika aturan tak memungkinkan usaha bertahan, siapa yang salah? Pengusaha atau regulator? Atau keduanya?” tanyanya kritis.

Saat itu, harga minyak goreng melambung, konsumen dan UMKM tercekik, dan pemerintah merespons dengan 21 regulasi dalam tujuh bulan. Ironisnya, bukannya membaik, pasokan justru langka.

Skema Domestic Market Obligation (DMO) digulirkan untuk memastikan pasokan domestik, dengan syarat eksportir CPO memenuhi kuota lokal demi mendapat izin ekspor. Namun, Khudori menilai skema ini gagal belajar dari masa lalu.

“DMO tak akomodasi fluktuasi harga CPO. Saat CPO naik, MinyaKita ikut mahal. Saat turun, harga di konsumen tak serta merta turun,” kritiknya.

Sebagai produsen CPO terbesar dunia, Khudori menyebut Indonesia seharusnya tak kesulitan menyediakan minyak goreng murah.

Data Kementerian Perdagangan menunjukkan realisasi DMO selalu melebihi kebutuhan 250 kiloliter per bulan. Namun, kenaikan harga CPO juga memengaruhi minyak curah dan premium, memicu migrasi konsumen ke MinyaKita.

“Ini bisa jadi salah satu penyebab harga MinyaKita naik, ditambah distribusi yang panjang hingga melibatkan D3 dan D4,” jelas Khudori.

Padahal, menurut skema resmi, distribusi hanya sampai D2 (Rp14.500/liter) sebelum ke konsumen (Rp15.700/liter). Temuan lain dari Kementerian Perdagangan menyebut produsen sengaja menahan stok, memperparah kelangkaan dan kenaikan harga.

Khudori menyarankan melibatkan BUMN seperti BULOG dan ID Food untuk memotong rantai distribusi, sekaligus memperkuat kontrol pemerintah.

Khudori memperingatkan, tanpa koreksi kebijakan, ekosistem MinyaKita akan runtuh. “Petani sawit, produsen, pedagang, dan konsumen adalah satu rantai. Jika satu lelet, semua terganggu,” katanya.

Ia menawarkan solusi: subsidi langsung via transfer tunai khusus pembelian MinyaKita untuk kelompok rentan dan UMKM. “Ini tak distorsi harga dan lebih tepat sasaran,” tegasnya. (saf/ham)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Tempat Laundry di Simo Tambaan

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Surabaya
Senin, 10 Maret 2025
25o
Kurs