
Memasuki Ramadan 2025 lalu, perekonomian Indonesia semakin terasa tidak baik-baik saja. Padahal, Ramadan dan Lebaran seharusnya menjadi waktu di mana masyarakat membelanjakan uang mereka untuk konsumsi rumah tangga.
Namun pada data terbaru menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat yang cukup signifikan. Bank Indonesia dan BPS melaporkan bahwa deflasi tahunan pada Februari 2025, tercatat sebesar -0.09 persen dan deflasi bulanan sebesar -0.48 persen.
Untuk mengatasi anomali konsumsi masyarakat dan ketidakstabilan ekonomi pasca Lebaran, langkah-langkah reformasi struktural menjadi suatu keharusan. Pemerintah harus fokus pada peningkatan kapasitas produksi nasional, terutama di sektor industri dan pertanian, untuk memastikan bahwa peningkatan permintaan dapat dipenuhi tanpa mengganggu stabilitas harga.
Dalam program Wawasan Suara Surabaya, Selasa (8/4/2025) pagi, Prof Wasiaturrahma Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga memberikan perspektifnya terkait kondisi ekonomi di Indonesia beberapa waktu belakangan hingga setelah Lebaran 2025 saat ini.
Menurut Prof Rahma, dari sisi pemerintah adalah dengan mengembalikan lagi proyek-proyek pemerintah daerah yang bisa digunakan untuk memelihara pembangunan daerah, alih-alih melakukan kegiatan dengan banyak anggaran.
“Tidak usah memikirkan kepentingan kebijakan yang ultra populis itu untuk menggalakkan ekonomi, supaya daya beli masyarakat bisa didongkrak,” terangnya saat Onair di Radio Suara Surabaya.
Sementara itu dari sisi masyarakat, Prof Rahma meminta agar masyarakat mengaktifkan mode survive. Salah satunya adalah dengan tidak mengonsumsi produk impor, serta lebih menggalakkan lokalistik.
“Kita tidak perlu memikirkan Trump yang perlu kita pikirkan sekarang internal ekonomi kita, karena kita punya market yang bisa survive dengan bahan baku lokal. Sementara nggak perlu kita gaya-gayaan dulu. Karena itu juga akan menggerus ekonomi kita,” ungkapnya.
Prof Rahma juga tidak mempermasalahkan sebagian masyarakat yang sudah berani menjual dolar di kondisi seperti ini, jika memang memilliki banyak simpanan.
“Kalau masyarakat ada yang punya dolar banyak, dilepas sebagian nggak apa-apa. Sekalian bantu pemerintah. Tapi bagi mereka yang pas-pasan, jangan dilepas,” tambahnya.
Adapun dalam kondisi ekonomi yang juga dibarengi dengan darurat moral dan etika, Prof Rahma berpesan kepada pemerintah agar bisa sekaligus menyelesaikan persoalan hukum secara cepat dan cermat.
“Karena jika tidak begitu, akan muncul lagi yang namanya krisis kepercayaan publik di tengah krisis ekonomi. Kita harus mengambil pelajaran dari krisis 1998 yang dimulai dari krisis mata uang hingga menjadi satu krisis total secara nasional,” tandasnya.(kir/iss)