
Prof. Telisa Aulia Falianty Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengusulkan pendekatan negosiasi yang dilengkapi dengan reformasi regulasi dalam negeri dan penguatan daya saing produk ekspor, sebagai upaya menghadapi pemberlakuan tarif masuk ke Amerika.
Telisa menyampaikan upaya retaliatif seperti menaikkan tarif balasan justru kontraproduktif dan akan memicu efek domino yang memperburuk hubungan dagang bilateral.
Menurut dia, langkah retaliatif kurang strategis dan dapat memicu eskalasi perang dagang yang merugikan Indonesia dalam jangka panjang.
“Jangan sampai kebijakan tarif balasan justru membuat ekspor kita makin tertekan. Solusinya ada di negosiasi, reformasi regulasi, dan diversifikasi pasar ekspor,” ujar Telisa dilansir dari Antara, Minggu (6/4/2025).
Lebih lanjut, Telisa menyoroti potensi terjadinya trade diversion dari negara-negara seperti Tiongkok, yang kini menghadapi hambatan ekspor ke Amerika Serikat. Namun demikian, Indonesia belum tentu menjadi tujuan utama peralihan ekspor tersebut.
Telisa menyebut substitusi pasar ekspor dari AS biasanya diarahkan ke negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau Uni Eropa. Indonesia mungkin menjadi pilihan, tetapi bukan yang utama.
Dalam konteks ini, lanjutnya, pemerintah diminta mengantisipasi kemungkinan masuknya barang impor dalam jumlah besar, sekaligus memperkuat instrumen pengamanan pasar domestik tanpa menciptakan hambatan yang bisa dianggap diskriminatif secara internasional.
Sebagai anggota ASEAN, BRICS, dan G20, Indonesia disebut perlu memaksimalkan jalur diplomasi multilateral untuk merespons dinamika global. Meski Donald Trump Presiden cenderung mendorong kesepakatan bilateral, langkah kolektif di tingkat kawasan tetap penting untuk menciptakan posisi tawar yang lebih kuat.
“Multilateral diplomacy harus tetap berjalan. Tapi di saat yang sama, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan sektoral untuk meningkatkan daya saing industri nasional,” kata Telisa.
Sektor-sektor seperti minyak sawit dan tekstil, yang masih memiliki permintaan tinggi di pasar AS, dinilai bisa menjadi jembatan untuk menjaga komunikasi dagang tetap terbuka.
Selain itu, keputusan pemerintah AS memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia, kata Telisa dipicu oleh dua hal utama yakni tuduhan manipulasi kurs (currency manipulation) serta penerapan hambatan non-tarif (non-tariff barriers) oleh pemerintah Indonesia.
“Jika ingin menurunkan tarif masuk ke AS, maka kita harus menunjukkan upaya untuk menyederhanakan hambatan non-tarif dan membuktikan tidak ada manipulasi kurs,” ucap Telisa. (ant/dra/saf/ham)