Wacana penggantian pupuk subsidi ke Bantuan Langsung Petani (BLP) yang digulirkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) beberapa waktu yang lalu direspon negatif oleh petani di Jawa Timur.
Petani Jatim yang tergabung dalam Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Timur, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jatim, Pemuda Tani Indonesia serta pelaku usaha tani lainnya didukung oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim sepakat menolak wacana tersebut.
Penolakan tersebut ditegaskan oleh Sumrambah Ketua KTNA Jatim saat Diskusi Panel dengan tema “Ketahanan pangan dan subsidi pupuk untuk petani” yang digelar di Graha Kadin Jatim, Selasa (20/8/2024).
“Ini menjadi hal yang harus disikapi karena data pertanian Indonesia agak amburadul. Mana petani, petani penggarap, mana yang sewa lahan, mana pemilik lahan, ini semua amburadul. Sehingga kalau subsidi dialihkan, maka yang akan terjadi adalah banyak ketidaktepatan penerima subsidi. Dan yang dikhawatirkan justru uang yang harusnya untuk membeli pupuk digunakan membeli yang lain. Mengubah pola produksi menjadi pola konsumtif. Sehingga dari diskusi ini, kami ambil opsi yang akan disampaikan kepada pemerintah bahwa BLP tidak usah diteruskan,” tegas Sumrambah.
Dalam forum tersebut diungkapkan bahwa ada banyak pertimbangan yang dirasa sulit untuk merealisasikan BLP tepat sasaran. Selain karena data petani yang ada tidak mendukung, penyaluran BLP juga diyakini akan mengakibatkan ketidakharmonisan dan menimbulkan keresahan di lingkungan petani.
“Rekeningnya nanti atas nama siapa? Apakah pemilik lahan, atau penggarap atau penyewa lahan? Kalau yang dapat nanti pemilik lahan, apakah penggarap akan rela, karena uang bantuan tunai itu sebenarnya untuk membeli pupuk,” ungkapnya melalui keterangan tertulis.
Untuk itu, ia menegaskan bahwa forum sepakat agar subsidi pupuk tetap dilanjutkan. Agar problem ketidakmerataan penerima subsidi pupuk teratasi, forum petani tersebut memberikan solusi alternatif dengan mengurangi nilai subsidi per kilogramnya dan menaikkan harga pupuk subsidi sehingga jumlah alokasi pupuk semakin besar, bisa mencukupi kebutuhan petani.
“Ketika berbicara tentang subsidi pupuk yang carut marut seperti ini maka yang pertama adalah naikkan saja sekalian harga satuan kilogram pupuknya sehingga kita akan mendapatkan jumlah ketersediaan pupuk di lapangan yang cukup banyak dan cukup untuk memenuhi kebutuhan petani, meskipun harga relatif agak mahal,” kata Sumrambah.
Jika hal itu juga tidak memungkinkan, maka forum sepakat agar subsidi pupuk yang mencapai sekitar Rp 25 triliun hingga Rp 30 triliun per tahun tersebut dicabut dan dialihkan untuk peningkatan kinerja pertanian. Salah satunya dengan pembangunan infrastruktur pertanian, baik fisik seperti pembangunan irigasi, embung, waduk dan sumur dalam yang bisa menaikkan index pertanaman menjadi tiga kali tanam serta pembanginan infrastruktur non fisik seperti peningkatan SDM melalui penyuluhan, pembangunan balai penelitian dan lain sebagaianya.
“Juga digunakan untuk subsidi pasca panen sehingga pemerintah bisa memberikan jaminan nilai produksi pertanian dengan menaikkan HPP gabah kering panen sebesar Rp 6.500 per kilogram. Meskipun menggunakan pupuk non subsidi, petani masih bisa mendapatkan untung dari harga itu,” tandasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh HM. Holifi Wakil HKTI Jatim bahwa keinginan pemerintah untuk memberikan subsidi dinilai cukup baik. Tetapi fakta di lapangan, pelaksanaannya sangat rumit dan sering tidak tepat waktu.
“Untuk itu, kami dari HKTI berupaya membina anggota kami dan keluarga tani membuat pupuk secara mandiri untuk memutus ketergantungan,” katanya.
Sementara itu Ahmad Yani, perwakilan dari Pemuda Tani Jatim juga menekankan pentingnya stabilitas harga gabah. Menurutnya, problem fluktiasi harga gabah sejauh ini senantiasa terjadi dan tidak terselesaikan sampai sekarang. “Dari tahun ke tahun yang tidak pernah terselesaikan adalah stabilitas harga, sehingga subsidi hasil harus jadi prioritas,” tandasanya.
Ia juga mengatakan pentingnya teknologi deteksi hama untuk meminimalisir gagal panen yang akan dialami petani, mengingat seringnya terjadi seranan hama.
Pada kesempatan yang sama, Adik Dwi Putranto Ketua Umum Kadin Jatim menegaskan, carut matur kebijakan pemerintah di sektor pertanian ini akibat tidak adanya peta jalan pertanian yang bisa dibuat rujukan. Sehingga berbagai kebijakan yang dikaluarkan pemerintah bersifat parsial dan sering kontroversi, hingga menumbulkan keresahan di kalangan petani
“Di semua sektor, khusunya pangan, pemerintah hingga hari ini tidak ada peta jalan. Apa yang dilakukan setengah-setengah dan tidak ada hasil. Padahal setiap tahun menghasilkan insinyur pertanian tetapi tiap tahun pertanian terpuruk,” ujar Adik.
Untuk itu, forum sepakat untuk membuat peta jalan pertanian Indonesia, khususnya Jatim yang nantinya akan diajukan ke pemerintah. “Harus melibatkan HKTI dan KTNA sebagai induk organisasi dari petani dan juga akademisi. Kita akan mengembalikan pertanian untuk berproduksi, seperti hittohnya petani yaitu berproduksi,” pungkas Adik.(iss/ipg)