Rencana pemerintah menaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN jadi 12 persen pada Januari 2025 masih terus memicu gelombang kekhawatiran, baik dari masyarakat, dunia usaha, hingga pemerhati ekonomi Tanah Air.
Semuanya khawatir, kalau langkah pemerintah kali ini selain membebani masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah selaku konsumen, juga bakal mengurangi daya beli hingga mengurangi demand produksi.
Faktornya, karena harga-harga barang pasti bakal ikut naik seiring kenaikan PPN yang diambil pemerintah mengacu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu.
Apalagi kalau terealisasi, kenaikan PPN 12 persen ini jaraknya akan jadi kurang dari dua tahun sejak PPN naik dari 10 persen ke 11 persen pada April 2022 lalu. Padahal, menurut beberapa pengamat, masyarakat masih berusaha memulihkan perekonomian pascapandemi Covid-19 lalu.
Nobertus Purnomolastu, Dosen Prodi Perpajakan Universitas Surabaya (Ubaya) pun turut mengakui kalau dampak kenaikan PPN 12 persen itu pasti akan terasa untuk konsumen maupun produsen.
“Kita bisa lihat dari segi ekonomi, harga barang pasti naik, dan ini otomatis akan mengurangi daya beli masyarakat. Sudah ada yang bilang, jual rumah aja susah sekarang, apalagi kalau ada kenaikan PPN, pasti makin berat,” ujarnya dalam program Wawasan Suara Surabaya membahas dampak kenaikan PPN 12 persen, Senin (25/11/2024).
Menurutnya, kalau demand atau permintaan turun, efeknya pasti panjang. Bukan cuma konsumsi, tapi juga ke sektor lain seperti pajak penghasilan (PPh).
“Kita lihat juga, PPN kita akan jadi salah satu yang paling tinggi di Asia, tapi tax rasio-nya malah rendah,” ungkapnya.
Karenanya dia menyarankan pemerintah sebaiknya fokus dulu membenahi tax ratio yang kini dinilainya masih rendah, yakni sekitar 9-10 persen.
Hal itu disampaikan berkaca dari penerimaan pajak dalam APBN 2023 lalu yang sekitar Rp750 triliun. Dengan kenaikan PPN 1 persen berdasarkan PPN 12 persen pada April 2022 lalu, penerimaannya harusnya bisa bertambah Rp70 triliun.
“Ini menunjukkan ada masalah di ekonomi underground yang besar tapi belum tercatat dan dipajaki. Seperti kasus kemarin ada uang Rp1 Triliun di kamar (kasus suap kasasi Ronald Tannur), itu jelas enggak tercatat, enggak kena pajak. Orang cenderung lebih memilih menyimpan uang daripada melapor,” bebernya.
BACA JUGA: Kejagung Sita Uang Hampir Rp1 Triliun dari Tersangka Kasus Suap Kasasi Ronald Tannur
Pengamat pajak itu kemudian menyebut, meski kenaikan PPN 12 persen sudah diundangkan dalam UU HPP, tapi sebetulnya bisah diubah lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
“Apalagi, kondisi ekonomi kita belum stabil. Jadi, saya rasa belum saatnya menaikkan PPN. Dampaknya bisa besar ke sektor-sektor yang sensitif, seperti LPG, minyak goreng, yang meski disubsidi, pemerintah tetap harus menambah anggaran subsidi karena kenaikan ongkos produksi,” terangnya.
Diakui juga kalau menaikan PPN sama saja sebagai langkah regresif, karena masyarakat berpenghasilan rendah secara tidak langsung menanggung beban yang sama dengan yang berpenghasilan tinggi.
Karena itu, menurutnya keadilan pajak seharusnya diterapkan di pajak penghasilan, di mana orang yang penghasilannya lebih besar, bayar pajaknya juga lebih besar. Bukan dengan cara menaikan PPN terus menerus yang pasti juga menaikan harga barang kebutuhan pokok.
“Kalau bisa, PPN ini jangan dulu dinaikkan. Bahkan mungkin bisa dipertimbangkan untuk diturunkan. Toh, dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, pemerintah bisa tetap meningkatkan penerimaan tanpa harus menaikkan persentase PPN,” pungkasnya. (bil/ham)