Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memantau sejumlah kepala daerah yang tidak melakukan operasi pasar murah dengan baik untuk mengendalikan inflasi.
Tomsi Tohir Inspektur Jenderal Kemendagri bilang, banyak kepala daerah yang operasi pasar murah hanya sebatas seremonial. Mengundang dua orang dari kelurahan atau desa, foto-foto, selanjutnya selesai.
Tomsi menambahkan, komoditi yang dijual di operasi pasar murah justru banyak dibeli oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), bukan masyarakat yang membutuhkan.
Oleh karena itu, dihimbau kepala daerah melakukan operasi pasar murah sebaik-baiknya dengan mengumumkan ke masyarakat luas. Dilakukan tidak hanya sekali untuk memenuhi laporan, tapi terus menerus supaya tujuannya tercapai.
Menyikapi hal tersebut, Prof Wasiaturrahma Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, sudah menjadi kebiasaan harga bahan pokok melonjak setiap Ramadan, Idulfitri, Natal, dan atau tahun baru.
“Hemat saya, pasar murah itu efektifnya itu hanya temporary, tidak berlangsung selamanya. Sebab melonjaknya harga bahan pokok itu karena berbagai macam faktor. Faktor paling tajam adalah cuaca,” ujarnya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (26/3/2024).
Wasiaturrahma menyebut, seharusnya pemerintah memiliki data lengkap, yang berisi jumlah penduduk, serta berbagai kebutuhan pokoknya. Data-data itu sepatutnya bisa untuk mengantisipasi berbagai hal, termasuk permainan harga.
“Kalau pemerintah daerah sigap, menjelang Ramadan sudah ada koordinasi dengan stakeholder terkait. Jadi jangan hanya diam saja dan baru bergerak ketika ada lonjakan harga,” kritiknya.
Dia menegaskan, hal-hal klasik seperti ini sebenarnya dapat diantisipasi jauh hari sebelumnya. Sebab pemerintah seharusnya sudah memiliki data kebutuhan masyarakat setiap tahunnya.
Pasar murah, menurut Wasiaturrahma, seharusnya membantu masyarakat untuk mendapatkan barang kebutuhan pokok dengan harga stabil.
“Hanya saja hal ini kan tidak dilakukan setiap hari. Jadi pemerintah hanya melaksanakan ketika ada fenomena harga naik. Tapi kan tidak selamanya melaksanakan operasi pasar, makanya saya bilang tidak efektif,” jabarnya.
Pemerintah didorong untuk membuat kebijakan dan aturan yang ketat agar tidak ada tangan-tangan yang memainkan harga. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan barang pokok dengan harga ideal, atau bahkan lebih murah.
“Pemerintah kan sering melakukan operasi pasar, tapi inflasi tetap saja tidak terkendali. Atau ada sedikit pengaruh. Jadi operasi pasar cenderung tidak efektif untuk menekan inflasi,” jelasnya.
Menurut Wasiaturrahma, ketika pemerintah tidak bijak dalam menjaga stabilitas harga dengan cara berkoordinasi dari semua stakeholder terkait, sampai kapan pun itu tetap permainan harga oleh oknum pedagang atau tengkulak.
“Sekarang fenomena inflasi itu bukan demand side, tapi supply side. Misal karena distribusinya tidak merata, infrastrukturnya kurang, serta faktor cuaca yang ekstrem. Itu yang harus dipersiapkan oleh pemerintah,” jelasnya.
Dia juga mengkritik data yang tidak detail serta yang terkoneksi antarlembaga. Hal ini membuat Bulog pun kesulitan untuk melakukan operasi pasar.
“Keburukan kita di Indonesia adalah tidak sinkron antarlembaga. Data masing-masing lembaga bisa tidak sama. Ke depan kita harus memperbaiki data. Tidak bisa kita hanya bicara tanpa dasar data,” harapnya. (saf/ipg)