Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, dinilai Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur dapat mematikan ekosistem pertembakauan nasional.
Adik Dwi Putranto Ketua Umum Kadin Jatim mengatakan, beberapa pasal dalam PP 28/2024 bisa mematikan ekosistem dan memberi dampak signifikan terhadap penurunan kontribusi industri hasil tembakau (IHT) dalam pembangunan nasional.
“Dalam PP 28/2024 tentang Kesehatan, terdapat beberapa pasal yang akan berdampak langsung pada IHT dan mengancam keberlangsungan industri. Padahal saat ini IHT memberi kontribusi terhadap 10% penerimaan negara serta menjadi sumber penghidupan jutaan masyarakat. Namun, berbagai tekanan dari sisi kebijakan fiskal dan non-fiskal, membuat tidak tercapainya target penerimaan cukai pada 2023 lalu, dan kini ditambah lagi dengan peraturan yang lebih eksesif,” terang Adik.
Menurut Adik, di antara pasal yang mendapat perhatian dan ditolak adalah pasal 435 mengenai standarisasi kemasan, yang kemudian diperjelas kembali dalam Permenkes pasal 4 ayat 2a, 5 hingga 7, karena kedua aturan ini mengarahkan pada implementasi kemasan polos.
Artinya, lanjut Adik, dalam waktu dekat seluruh produk IHT, baik rokok konvensional maupun elektrik tidak diperbolehkan memiliki desain ataupun merek di kemasan.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak merafitifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang mana kemasan polos menjadi salah satu mandat pengendalian didasari pada prinsip kesehatan.
Dampak dari kemasan polos, menurut Adik, adalah kian berkembangnya rokok ilegal.
“Ini menjadi kesempatan untuk menjual produk yang tidak patuh aturan ini dengan lebih luas,” ungkapnya.
Sementara itu, aturan lain dalam PP 28/2024 yang juga menjadi perhatian Kadin terdapat dalam pasal 431 tentang pembatasan tar dan nikotin pada rokok konvensional.
Aturan ini diyakini akan menghilangkan karakter produk tembakau khas Indonesia, yaitu kretek, dan berpengaruh pada serapan tembakau lokal yang menjadi sumber mata pencaharian jutaan petani di Indonesia.
“Produksi tembakau di Indonesia itu hampir semua ya memiliki kandungan nikotin tinggi. Jika aturan ini diberlakukan, maka bisa dipastikan petani yang akan mati, tembakau mereka tidak akan terserap,” katanya.
Selain itu, pasal 432 terkait larangan bahan tambahan, juga dinilai akan menimbulkan potensi implementasi yang tidak tepat di lapangan mengingat belum adanya aturan jelas terkait apa saja bahan-bahan apa yang masuk di dalam larangan.
Senada dengan KADIN, Agung Subroto Wakil Ketua Perkumpulan Pengusaha E-Liquid Indonesia (PPEI) mengatakan bahwa PP 28/2024 dan rancangan Permenkes ini sangat eksesif.
“Pelaku industri rokok elektronik mayoritas adalah UMKM dan bagian dari industri kreatif, tentu aturan ini akan menyebabkan banyak usaha gulung tikar,” kata Agung.
Sebelum adanya PP 28/2024 tentang Kesehatan, IHT telah menghadapi banyak tekanan regulasi. Dari 446 regulasi yang mengatur IHT, sebanyak 400 (89,68 persen) berbentuk kontrol, 41 (9,19 persen) lainnya mengatur soal cukai hasil tembakau, dan hanya 5 (1,12 persen) regulasi yang mengatur isu ekonomi/kesejahteraan. (kir/ham)