Andik Dwi Putranto Ketua Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur (Kadin Jatim) mengatakan bahwa keputusan Prabowo Subianto Presiden menaikkan upah minimum nasional sebesar 6,5 persen, cukup membuat kaget kalangan pelaku usaha.
Para pengusaha, kata dia, mengaku khawatir kebijakan tersebut bakal berdampak pada keberlangsungan kinerja dunia usaha dan industri di Indonesia, khususnya Jatim. Apalagi, kondisi ekonomi dalam negeri saat ini belum sepenuhnya menguat.
“Pengusaha masih kesulitan untuk menangani hal tersebut. Dengan adanya kebijakan tersebut akan semakin memberatkan pelaku usaha,” katanya di Surabaya, Rabu (4/12/2024).
Jika kebijakan tersebut tetap diberlakukan, ia memperkirakan daya saing industri akan semakin melemah. Padahal menurutnya, saat ini daya saing Indonesia mulai membaik.
“Kami khawatir dengan adanya kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5 persen ini akan melemahkan daya saing. Padahal pengusaha itu nomor satunya di daya saing. Apalagi pemerintah juga merencanakan kenaikan PPN menjadi sebesar 12 persen. Kalau pengusaha merasa berat, saya khawatir akan ada gelombang PHK karena memang situasinya berat,” tuturnya.
Berdasarkan laporan Global Competitiveness Index tahun 2023 yang dikeluarkan International Institute for Management Development (IMD), peringkat daya saing Indonesia naik dari posisi ke-44 menjadi ke-34 atau naik 10 tingkat di tingkat global.
Melihat kondisi tersebut, pihaknya berharap pemerintah kembali mempertimbangkan kebijakan tersebut.
“Mungkin kenaikan tidak sebesar 6,5 persen, misalkan tiga persen atau empat persen karena ada pertimbangan-pertimbangan tertentu,” tuturnya.
Selain itu, dengan kenaikan tersebut, menurutnya juga perlu diimbangi dengan kompensasi.
“Apa sih yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperkuat pengusaha khususnya yang padat karya. Harus ada kompensasi untuk pelaku usaha agar tetap bisa berjalan dan tumbuh,” ucapnya.
Kompensasi menurutnya, bisa dengan memberi stimulus berupa kepastian, kemudahan dan kecepatan berusaha. Biaya siluman juga harus sepenuhnya dihilangkan karena menurutnya, cukup meresahkan dan nilainya juga besar, bisa mencapai 10 persen lebih dari biaya produksi.
“Itu yang perlu ditertibkan sehingga dampak kenaikan upah minimum ini tidak terlalu memberatkan industri dan pengusaha,” katanya.
Lebih lanjut, di sisi lain, ia juga meminta pemerintah untuk mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja, karena di dalam negeri kondisinya masih relatif rendah.
Ia mengaku, sejauh ini perusahaan telah berupaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja dengan pelatihan dan sertifikasi. Namun upaya tersebut masih kurang. Oleh karena itu, subsidi sertifikasi kompetensi tenaga kerja harus diperbanyak.
“Sertifikasi kompetensi tenaga kerja menjadi keniscayaan karena jumlah tenaga kerja yang sudah tersertifikasi oleh BNSP hanya sekitar 10 persen dari total tenaga kerja yang ada. Jika kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen ini dibarengi dengan solusi yang jelas, itu jauh lebih baik agar ekonomi tetap berjalan dan PHK tidak terjadi,” tandasnya. (ris/bil/faz)