Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang akan berlaku Januari tahun 2025 memunculkan reaksi kontra dari masyarakat. Pasalnya, kenaikan ini dikhawatirkan akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat.
Aluisius Hery Pratono Dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya) bahkan menyebut kenaikan ini dilakukan pemerintah pada momentum yang kurang tepat. Menurutnya, saat ini daya beli masyarakat masih rendah, sementara suku bunga sedang tinggi dan diperparah dengan kenaikan US dollar.
Dia menjabarkan pertumbuhan ekonomi masih berkisar di angka lima persen. Sayangnya, pertumbuhan itu bukan didukung oleh sektor manufaktur yang kuat, tetapi didukung oleh sektor konstruksi yang rentan terhadap gelembung ekonomi.
“Padahal, masyarakat juga masih membutuhkan pembiayaan untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Khususnya bagi kaum menengah yang upahnya sedikit di atas UMR. Bagi mereka yang hidup di sektor informal dan tidak punya akses ke pasar uang konvensional terpaksa memilih pinjol (pinjaman online) untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,” jelas Hery dalam keterangannya, Kamis (21/11/2024).
Selain itu, tambah dia, kenaikan PPN ini juga dilakukan saat daya beli masyarakat belum pulih sejak Pandemi Covid-19 lalu.
“Saat ini inflasi indonesia cukup rendah. Menurut data BPS, inflasi bulan Oktober 2024 sekitar 1,7 persen atau masih dalam target Bank Indonesia. Perlu dicatat bahwa rendahnya angka inflasi tidak terlepas dari daya beli masyarakat yang belum pulih sejak terjadinya pandemi,” imbuhnya.
Upaya menurunkan suku bunga menurutnya masih sulit dilakukan karena tekanan pasar uang. Ia menambahkan, rupiah kembali melemah di angka Rp15.900 yang artinya akan ada tekanan inflasi dari barang-barang impor.
Dia mengatakan akhir tahun akan ada lonjakan permintaan dilanjutkan dengan Ramadan pada beberapa bulan berikutnya. Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat semakin tidak mampu menjangkau harga barang-barang kebutuhan yang masih mengandalkan impor, termasuk beras, kedelai dan daging.
Meski demikian, Hery mengaku bisa memahami keputusan pemerintah menaikan PPN tersebut. Pemerintah berusaha menaikan rasio pajak terhadap Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) dari 8,3 persen, menjadi 10,4 persen pada 2022.
Artinya, ekspansi ekonomi yang dimotori oleh pengeluaran pemerintah pada zaman Jokowi Presiden banyak didanai dari pendapatan non pajak, termasuk utang. Dengan kata lain, pemerintahan Prabowo Presiden tidak mempunyai ruang yang cukup besar untuk melakukan ekspansi dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi delapan persen.
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Ubaya itupun memberikan saran bagi pengusaha untuk melakukan restrukturisasi pengadaan barang di tahun ini agar beban kenaikan PPN 12 persen tidak terlalu berat.
Selain itu, pengusaha yang akan melakukan impor disarankan untuk melakukan hedging (beli US dollar untuk tahun depan). Dari sisi pemerintah, Hery menyebut perlu disiapkan beberapa skenario baik untuk masyarakat miskin, usaha mikro, dan usaha kecil. (kev/bil/ham)