Sabtu, 23 November 2024

Wakil Ketua idEA Sebut Penjualan Offline Masih Lebih Tinggi daripada Online

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi marketplace. Foto: Investor Daily

Pasar Tanah Abang tampak sepi pembeli. Suasana itu tampak dalam video yang beredar di media sosial baru-baru ini. Para pedagang di sana menyebut perang harga yang ditawarkan melalui live shopping di platform media sosial membuat penjualan mereka berkurang signifikan. Sebenarnya, mereka juga telah menggunakan metode yang sama melalui live shopping, tetapi hasilnya tidak memuaskan.

Teten Masduki Menteri Koperasi dan UKM pun bersuara. Menurutnya, muara dari persoalan ini adalah karena Indonesia yang belum memiliki strategi nasional transformasi digital dan belum memiliki badan yang mengatur soal transformasi digital tersebut.

Di Indonesia, menurut Teten, transformasi digital hanya berkembang di sektor perdagangan (e-commerce) khususnya di sektor hilir, bukan di sektor produksi. Akibatnya, produksi nasional kalah dengan produk dari luar yang lebih murah, karena produksinya lebih efisien dan berkualitas.

“Fenomena transformasi digital, termasuk dalam hal belanja, sebenarnya ini fenomena yang ada di semua industri. Sudah berubah, orang ingin yang lebih mudah,” komentar Budi Primawan Wakil Ketua Umum Indonesian E-Commerce Association (idEA) dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (19/9/2023) pagi.

Menyoal fenomena sepinya Pasar Tanah Abang dan pasar lain termasuk di Surabaya, Budi menilai harus ada studi lebih mendalam. Sebab pasti ada beberapa hal yang menyebabkan hal itu terjadi

“Apalagi tingkat pembelanjaan di e-commerce memang tinggi. Tapi tak sebanyak sebanyak yang offline. Sebab ada beberapa hal yang membuat orang lebih prefer melihat dulu baru membeli,” ujar Budi.

Ia menegaskan, fenomena itu tidak bisa dipandang dari satu sudut saja. Meski ia mengakui kehadiran e-commerce membuat lebih banyak opsi dan variasi belanja.

“Namun penjualan online pun terbatas. Sebab tidak semua barang bisa dijual secara online. Ini menjadi bahan diskusi menarik kenapa terjadi disrupsi pada tempat perbelanjaan,” sebut Vice President Government Affairs Lazada tersebut.

Soal algoritma di marketplace, Budi menegaskan bahwa semua penjual memiliki kesempatan yang sama. Yang membedakan adalah kemampuan si penjual untuk menata tokonya. Sebab memiliki lapak di marketplace sama seperti di pasar konvensional. Jika tidak menarik, pembeli tak akan melirik.

“Algoritma dalam digital marketing sudah ada dari dulu. Jika Anda buka apapun, yang keluar kali pertama ialah yang sering dicari. Sebab algoritma itu membaca kebiasaan user. Jika terdapat permainan untuk mendongkrak viewers, saya rasa itu bukan dari platform tersebut. Algoritman yang ada adalah untuk membantu konsumen mendapatkan pengalaman belanja yang terarah,” jabar Budi Primawan.

Budi kembali menegaskan bahwa semua pengusaha yang berkecimpung di e-commerce, baik brand besar maupun UMKM, punya kans yang sama. Hanya saja, antara pemilik toko yang rajin yang aktif dengan yang pasif tentu hasilnya beda.

“Kepada para pedagang, jika sudah tergabung di satu marketplace yang ada pelatihannya, mohon diikuti dan diterapkan. Sebab persaingannya ketat. Bukan hanya dengan offline, tapi juga sesama toko online. Termasuk lapak yang berbeda platform,” pintanya. (saf/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs