Minggu, 24 November 2024

Transisi Energi ke Gas Bumi Turunkan Emisi dan Kembangkan Industri Petrokimia

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi. Foto: PGN

ReforMiner, lembaga riset independen ekonomi energi dan pertambangan, menilai gas bumi merupakan sumber energi yang dapat menjadi pilihan utama dalam pelaksanaan transisi energi. Dari sisi jumlah, ketersediaan gas bumi cukup memadai. Selain itu, dari perspektif lingkungan, gas bumi juga relatif lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara.

“Indonesia juga berpotensi memperoleh nilai tambah ekonomi yang cukup signifikan jika dapat memanfaatkan gas bumi untuk transisi energi dan untuk mengembangkan industri petrokimia nasional. Dengan biaya yang relatif lebih murah, pemanfaatan gas bumi sudah akan dapat mencapai target penurunan emisi dalam jumlah tertentu,” tulis ReforMiner dalam laporan yang diterima suarasurabaya.net, Selasa (17/1/2023).

Pemanfaatan gas bumi untuk menghasilkan lebih dari 40 jenis produk petrokimia strategis bagi kepentingan industri hilir petrokimia dan industri turunannya. Juga memiliki makna penting bagi keberlanjutan kegiatan usaha hulu gas bumi karena masih akan terus dibutuhkan.

Berdasarkan data Kementerian ESDM tentang ketersediaan gas bumi nasional pada tahun 2021 sebanyak 43,6 triliun kaki kubik, setara dengan kurang lebih 20 tahun kebutuhan nasional. Sedangkan realisasi penyaluran 5.734 billion british thermal unit per day (BBTUD) dengan konsumsi domestik 66 persen.

Publikasi Pusat Data dan Teknologi Informasi KESDM pada tahun 2017 menyebutkan bahwa emisi pembakaran gas bumi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara. Jika dibandingkan dengan minyak bumi, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 20 g CO2e/MJ. Sementara jika dibandingkan dengan batubara, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 43 g CO2e/MJ.

Simulasi ReforMiner menemukan jika volume konsumsi minyak bumi Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari, perbedaan emisi pembakaran antara minyak bumi dan gas bumi selama satu tahun dapat mencapai kisaran 72,33 juta ton CO2e. Jika Indonesia mengkonversi sekitar 50 persen konsumsi minyaknya dengan menggunakan gas bumi, hal tersebut sudah akan menurunkan emisi sekitar 36,16 juta ton CO2e.

Terkait volume konsumsi batubara Indonesia tahun 2023 yang diproyeksikan mencapai kisaran 195,9 juta ton dan mengacu pada catatan poin 2 tersebut, perbedaan emisi pembakaran antara batubara dan gas bumi selama satu tahun dapat mencapai kisaran 246,71 juta ton CO2e. Artinya jika Indonesia mengkonversi sekitar 50 pertama konsumsi batubaranya dengan menggunakan gas bumi, hal tersebut sudah akan menurunkan emisi
sekitar 123,35 juta ton CO2e

Peningkatan pemanfaatan gas bumi dapat membantu merealisasikan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen atau setara dengan 834 juta ton CO2e pada tahun 2030 dari kondisi Business as Usual (BaU). Dari target tersebut, sektor energi mendapatkan porsi penurunan emisi sebesar 314 juta ton CO2e.

Target penurunan emisi untuk sektor energi tersebut sudah akan dapat dicapai jika Indonesia dapat mengkonversi seluruh konsumsi minyak bumi dan batubara dengan menggunakan gas bumi. Penurunan emisi yang dihasilkan dari konversi konsumsi seluruh minyak bumi dan batubara Indonesia dengan gas bumi dapat mencapai kisaran 319 juta ton CO2e, lebih besar dari target penurunan emisi pada sektor energi.

Gas Bumi Mendorong Pengembangan Industri Petrokimia 

Gas bumi memiliki dua peran penting untuk industri petrokimia, yaitu untuk bahan baku dan sumber energi. Peluang untuk dapat mendorong pengembangan industri petrokimia Indonesia masih cukup besar.

Data menyebutkan, dengan kapasitas produksi petrokimia Indonesia yang saat ini sekitar 7,1 juta ton per tahun, sekitar 70 persen kebutuhan petrokimia untuk domestik masih harus dipenuhi dari impor.

Berdasarkan perhitungan ReforMiner, kebutuhan gas untuk bahan baku industri petrokimia domestik dengan kapasitas 7,1 juta ton per tahun tersebut dapat mencapai kisaran 716 BBTUD. Kebutuhan gas untuk bahan baku dan sumber energi untuk industri petrokimia berpotensi meningkat signifikan jika pemerintah menerapkan kebijakan substitusi terhadap sekitar 70 persen kebutuhan petrokimia yang masih diimpor dengan produksi dalam negeri.

Potensi penciptaan nilai tambah ekonomi dari pemanfaatan gas bumi untuk industri petrokimia dalam negeri berpotensi cukup signifikan. Data menunjukkan kinerja laba/rugi, kinerja pajak, komitmen investasi, dan penyerapan tenaga kerja dari industri petrokimia tercatat sebagai salah satu yang terbaik dalam kelompok tujuh industri yang memperoleh kebijakan harga gas khusus.

Data menunjukkan, industri petrokimia mencatatkan laba sebesar Rp7,30 triliun pada tahun 2021, meningkat signifikan setelah merugi sebesar Rp862 miliar pada tahun 2020. Pembayaran pajak industri petrokimia pada tahun 2021 sebesar Rp4,09 triliun, terbesar dalam kelompok
industri yang memperoleh kebijakan harga gas khusus. Realisasi investasi kumulatif industri petrokimia untuk tahun 2020-2021 juga tercatat sebagai yang terbesar yaitu sebesar Rp 23,61 triliun. Serapan tenaga kerja pada industri petrokimia juga tercatat sebagai salah satu yang terbesar yaitu sekitar 20.000 tenaga kerja.(iss/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
28o
Kurs