Gigih Prihantono, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair) menilai fenomena TikTok Shop bisa menjadi pembelajaran bagi pedagang offline maupun online.
TikTok Shop resmi berhenti beroperasi pada 4 Oktober lalu. Penutupan ini memang menimbulkan pro dan kontra. Semua memiliki alasan masing-masing.
Menurut Gigih, gempar TikTok Shop seharusnya bisa menjadi pembelajaran bagi pedagang offline, baik retail maupun grosir, serta bagi pedagang online.
“Bagi pedagang retail, tingkatkan kualitas servisnya. Kalau servis bagus, orang akan datang meski produk lebih mahal. Sama seperti seorang langganan, mereka akan datang selalu. Harus diperkuat terus-menerus,” ujarnya.
Selain itu, Gigih juga menyarankan agar pedagang offline juga belajar untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Termasuk merambah dunia online.
“Termasuk retail, minimal memanfaatkan WhatsApp. Atau memafaatkan saluran-saluran online lain,” terang Gigih.
“Yang paling penting bagaimana mereka menciptakan diferensiasi dari produk yang dijual atau layanan yang diberikan. Dan hal ini harus bisa ketahui konsumen. Sehingga konsumen bisa memilih produk mana yang cocok ketika berbeda. Kalau sama aja, ya perang harga,” imbuhnya.
Sementara bagi pedagang online, Gigih menyebut mereka harus punya exit strategy. Misalnya ketika TikTok Shop disetop, maka pedagang online bisa mengandalkan platform lainnya.
“TikTok Shop hanya salah satu saluran jualan. Ada banyak saluran lain yang dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penjualan,” imbuhnya.
Tidak menutup kemungkinan pedagang online juga perlu membuka toko offline. Menurutnya, penjualan secara daring dan langsung, tidak bisa dipisahkan.
“Karena offline dan online tidak bisa diputus. Itu karakteristik yang berbeda,” tegasnya.
Gigih menyebut, sepinya pusat belanja termasuk pasar tradisional tidak bisa menyalahkan hanya satu platform. Masih ada banyak e-commerce yang jadi pilihan pembeli untuk belanja mudah.
Gigih sepakat dengan langkah pemerintah menutup TikTok Shop. Sebab, TikTok sendiri merupakan social media, bukan e-commerce.
“Ini langkah tepat karena mereka (TikTok Shop) tidak dibebani biaya administrasi. Sedangkan (e-commerce) lainnya dibebani. Bahkan penjual offline di pasar kan juga beban lebih banyak. TikTok satu-satunya yang bisa transaksi social media. Modelnya bisnis memang menyederhanakan penjualan usaha kecil atau perorangan,” jelasnya.
Meski demikian, ia menilai ada solusi lain dibanding menutup TikTok Shop. Salah satunya membenahi regulasi dan mematok pajak atau tarif pada TikTok Shop agar sama dengan e-commerce lain.
“Harusnya pemerintah pajaki aja TikTok-nya. Tanpa menutup. Prinsipnya persaingan yang adil, pasar yang adil,” ucapnya.
Lalu untuk menghidupkan kembali pasar tradisional dan pusat belanja lainnya, pemerintah harus mem-branding lokasi yang mampu mengundang pengunjung.
“Pemerintah harus lebih banyak membuka peluang-peluang untuk UMKM. Operator pusat pembelanjaan, PD Pasar dan lainnya harus mem-branding pasar. Itu 50 persen bisa membantu orang berkunjung ke situ,” tandas Gigih. (lta/saf/iss)