Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada awal perdagangan Senin (15/5/2023), diperkirakan akan melemah karena tertekan oleh penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan kenaikan imbal hasil obligasi AS.
“(Hal ini disebabkan) setelah data sentimen konsumen AS menunjukkan kenaikan pada ekspektasi inflasi jangka panjang,” kata Lukman Leong Analisis DCFX dilansir dari Antara, Senin (15/5/2023).
Selain itu, kata dia, pernyataan “hawkish” dari Michelle Bowman Anggota Dewan Gubernur Fed yang merasa kenaikan suku bunga diperlukan lebih lanjut oleh The Fed menjadi faktor lain dari kelemahan rupiah.
Menurut Lukman, rupiah berpotensi membatasi pelemahan apabila data neraca perdagangan yang akan dirilis siang ini lebih baik dari perkiraan, atau minimal sesuai dengan ekspektasi untuk melanjutkan rekor surplus berkelanjutan.
“Perkiraan (pergerakan) rupiah di kisaran Rp14.700-14.800 per dolar AS,” ujarnya.
Senada, Revandra Aritama Analis ICDX menyampaikan bahwa sentimen yang menjadi pendorong untuk penguatan dolar AS adalah potensi The Fed untuk menahan suku bunga tinggi dalam waktu lebih lama.
“Sentimen ini disebut timbul pasca laporan Consumer Price Index (CPI) beberapa waktu, yang walaupun berada di level yang di bawah perkiraan, namun masih cukup jauh dari target. Selain itu statement, dari Jerome Powell (Ketua The Fed) yang menyebutkan bahwa ekonomi AS membutuhkan waktu untuk lanjut mendinginkan inflasi, yang diterjemahkan pasar sebagai potensi untuk menahan tingkat suku bunga tinggi dalam waktu yang lebih lama,” ujar Revandra.(ant/ihz/rst)